Rabu, 16 November 2011
Ali bin Abi Thalib dilahirkan pada tahun (599-661 M), satu-satunya manusia yang dilahirkan di bawah naungan Ka’bah. Dengan nama asli Haidar, nama ini diharapkan oleh keluarganya mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Makkah. Nama Ali ini, merupakan panggilan Rasulullah. Ali yang berarti tinggi.
Ali dilahirkan dari pasangan Abu Thalib dan Fatimah bin Asad, keduanya merupakan keturunan Bani Hasyim dan termasuk sepupu dari Rasulullah. Ketika Abu Thalib mengalami kebangkrutan dalam usahanya, ia mengirim putra-putranya ke tempat saudara-saudaranya. Ali bin Abi Thalib di asuh oleh Rasulullah bersama istrinya Khadijah Al-Kubra. Karena Rasulullah tidak mempunyai anak laki-laki, Nabi sering memperlakukan Ali bin Abi Thalib sangat istimewa.
Ketika Rasulullah menerima wahyu Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau lebih tepatnya orang kedua yang percaya setelah istri Nabi yaitu Khadijah. Pada waktu itu usia Ali masih sekitar 10 tahun.
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah Ali dinikahkan oleh Rasulullah dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Rasulullah menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal salah satunya dari kalangan Bani Hasyim, dan Ali pula yang paling dulu mempercayai kenabian Muhammad setelah Khadijah. Ali bin Abi Thalib selalu belajar di bawah bimbingan Rasulullah langsung dalam banyak hal lain.
Ali bin Abi Thalib merupakan panglima perang yang gagah berani dengan pedangnya yang bernama Dzulfikar menebas musuh-musuhnya di medan pertempuran melawan kafir Quraisy. Ali bin Abi Thalib telah banyak mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah kecuali pada perang Tabuk, dia terkenal dalam ketangguhan menunggang kuda dan keberaniannya, dia merupakan salah seorang yang di jamin masuk surga oleh Rasulullah, pada saat dirinya masih hidup, dialah kesatria umat Islam.
Para sejarah Islam berpendapat bahwa kulit Ali berwarna hitam manis, berjenggot tebal, lelaki kekar, berbadan besar, berwajah tampan, dan di beri nama kunyah oleh Rasulullah dengan sebutan Turab.
Sahabat yang satu ini memiliki citra kepahlawanan yang sangat cemerlang sebagai bukti atas keberaniannya dalam membela agama Islam. Di antaranya, dia menginap di ranjang Rasulullah pada saat peristiwa hijrah, dia mempersembahkan dirinya untuk sebuah kematian demi membela Rasulullah, dialah orang pertama bersama Hamzah dan Ubaidah bin Al-harits yang memenuhi panggilan perang tanding. Dan dia juga termasuk kelompok kecil yang tetap tegar bersama Rasulullah pada perang Uhud.
Pada perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam, Ali bin Abi Thalib menjadi pahlawan di samping Hamzah. Banyak dari kalangan kaum kafir Quraisy tewas di tangan Ali, dalam usia yang masih mudah yaitu sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq merupakan saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Amar bin Abdi Wud mengajak duel kepada tentara Islam sebelum peperangan dimulai. Dia berkata: Di manakah surga yang kalian klaim bahwa jika mati kalian pasti memasukinya? Apakah kalian tidak memberikan aku seorang lelaki untuk berperang melawanku? Maka Ali bin Abi Thalib keluar menghadapinya. Kemudian Amar bin Abdi Wud berkata: Kembalilah wahai anak saudaraku, dan siapakah paman-pamanmu yang lebih tua darimu, sesungguhnya aku tidak suka menumpahkan darah seorang lelaki sepertimu. Maka Ali bin Abi Thalib berkata: “Demi Allah, aku tidak sedikit pun merasa banci menumpahkan darahmu. Maka Amar pun marah dan turun dengan menghunus pedangnya seperti kilatan api, lalu bergegas menantang Ali dengan emosi yang meluap. Maka Ali pun menghadapinya dengan sebuah perisai lalu Amru menyabetkan pedangnya hingga menancap pada perisai dan melukai kepala Ali, kemudian Ali memukulkan pedangnya ke pundak musuhnya sehingga, Amar tersungkur hingga terdengarlah suara gaduh para prajurit Islam, Kemudian setelah Rasulullah mendengar suara takbir, maka beliau mengetahui bahwa Ali telah menewaskan musuhnya. Ketika Ali bin Abi Thalib kembali, Rasulullah mencium Ali dengan berurai air mata.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, di kemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Rasulullah bersabda: “Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Ali merupakan salah seorang yang dididik langsung oleh nabi sejak kecil, sehingga pengetahuan ilmunya sangat luas, baik pemahaman tentang Islam, dalam memerintah, dan bergaul antar sesama. Sehingga Rasulullah bersabda tentang keilmuan Ali bin Abi Thalib, “Ana Madinatul ilmi wa Aliyyun babuha. Faman Aradal madinah fa ya’tihamin babihi- Akulah kota ilmu dan Ali-lah pintunya Barang siapa yang mau memasuki kota, hendaklah ia datang melalui pintunya”. Hadits ini sanadnya bersambung langsung sampai Rasulullah.
Ada satu peristiwa yang menandakan bahwa Ali cerdas dalam ilmunya, datang seorang wanita kepada Umar bin Khathab dan telah melahirkan seorang anak lelaki yang telah berumur enam bulan lalu diperintahkan agar wanita tersebut di rajam.
Maka Ali berkata kepada Umar: Wahai Amirul Mukminin tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala: Ali berkata: Masa kehamilan adalah enam bulan dan menyapihnya dalam masa dua tahun.
Maka Umar pun menggagalkan eksekusi rajam dan dia berkomentar: Sebuah perkara yang seandainya Ali bin Abi Thalib tidak memberikan pendapat padanya maka niscaya aku binasa.
Di antara perkataan Ali bin Abi Thalib adalah, “ambillah lima perkara dariku janganlah seorang hamba mengharap kecuali kepada Tuhannya, tidak khawatir kecuali terhadap dosa-dosanya, janganlah orang yang tidak mengetahui merasa malu bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya, dan janganlah orang yang alim merasa malu mengatakan: “Allah yang lebih mengetahui” jika dia ditanya tentang perkara yang tidak diketahuinya, kedudukan sabar terhadap keimanan sama seperti kedudukan kepala dalam jasad dan tidak ada keimanan tanpa kesabaran.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, dalam pemerintahannya Ali bin Abi Thalib mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena di bunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang bersal dari golongan Khawarij saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tahun 19 Ramadhan, dan Ali pun menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 13 Rmadhan tahun 40 Hijriah. Ali kuburkan secara Rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang mengatakan bahwa Ali dikubur di tempat lain. Akan tetapi yang jelas seorang Ali bin Abi Thalib merupakan kesatria panglima Islam dalam menumpas kafir Quraisy demi tegaknya kalimah “Laaila ha illlah Muhammadar Rasulullah”
Hamzah bin Abdul Muthallib, merupakan paman sekaligus saudara susuan Rasulullah. Hubungan Hamzah bin Abdul Muthallib dengan Rasulullah bukan hanya sekadar antara paman dan keponakan, melainkan juga antara dua orang sahabat. Karena keduanya berasal dari satu generasi dengan umur yang berdekatan. Mereka berdua tumbuh bersama, bermain bersama, saling senda gurau bersama, dan berjalan bersama dari satu jalan ke jalan yang lain,. Namun arah hidup keduanya amat berbeda di masa mudanya.
Hamzah bin Abdul Muthallib adalah anak dari Abdul Muthallib dan ibunya bernama Haulah binti Wuhaib dari Bani Zuhrah. Menurut riwayat, pernikahan Abdul Muthallib dan Abdullah bin Abdul Muthallib terjadi bersamaan waktunya, dan ibu dari Nabi, Aminah binti Wahab, adalah saudara sepupu dari Haulah binti Wuhaib.
Hamzah bin Abdul Muthallib sangat sayang kepada Rasulullah, pada suatu hari ada seorang budak yang mengatakan bahwa keponakannya telah di caci maki dan diperlakukan tidak manusiawi oleh Abu Jahal. Mendengar perkataan itu Hamzah bin Abdul Muthallib langsung tanpa pikir panjang hendak mencari Abu Jahal, setelah melihatnya Hamzah bin Abdul Muthallib mendekati Abu Jahal, lalu diangkat busur panah dari punggungnya dan langsung di pukulkan ke kepala Abu Jahal hingga dia berdarah. Kemudian Hamzah bin Abdul Muthallib dengan suara yang lantang berkata di hadapan Abu Jahal dan pembesar kaum Quraisy “Apakah kamu mencaci maki Muhammad? Padahal aku adalah pengikutnya. Aku katakan apa yang dia katakan. Camkan itu baik-baik! Ulangilah kepadanya jika kamu mampu”. Memang Hamzah bin Abdul Muthallib sangat sayang kepada keponakannya; yaitu Rasulullah.
Sesampainya di rumahnya, Hamzah bin Abdul Muthallib berpikir ulang apa yang dikatakan tadi di dekat Ka’bah. Dia berpikir ini bisa terjadi, bagaimana mungkin seseorang meninggalkan agama nenek moyangnya yang di anut sejak lama. Tiba-tiba di pikirannya tebersit rasa penyesalan tentang apa yang di ucapkan tadi. Akan tetapi, Hamzah bin Abdul Muthallib kembali meneruskan pengembaraan akalnya. Namun, ketika dia menyadari bahwa dengan akal saja dia tidak cukup mencari kebenaran yang hakiki, lalu dia pergi di dekat Ka’bah berdoa meminta kepada Yang Maha gaib dengan keikhlasan dan sangat khusyuk, supaya nantinya mendapatkan kebenaran dan jalan yang lurus.
Hamzah kemudian masuk Islam dengan penuh keyakinan. Allah memperkuat keislaman Hamzah. Islamnya Hamzah merupakan benteng kaum muslimin dan perisai. Sejak Hamzah bin Abdul Muthallib masuk Islam dia berdiri bagaikan benteng dan membela Rasulullah dan para sahabat yang dihina. Dia pun bertekad untuk menyerahkan seluruh kehidupan dan raganya kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka dengan keberanian dan selalu membentengi Rasulullah, Hamzah kemudian di beri gelar oleh Nabi yaitu “asadullah wa asadu rasulihi – Singa Allah dan Singa Rasulallah”. Bahkan Hamzah oleh Baginda Nabi diserahkan bendera Islam pertama untuk di kibarkan dalam pertempuran.
Pada perang Badar, Hamzah melakukan kehebatan yang luar biasa dalam memerangi musuh-musuhnya membuat para sahabat berdecak kagum dan kaum Quraisy kembali ke Makkah dengan membawa kekalahan dan kegagalan yang memalukan. Banyak korban dari kaum kafir Quraisy dalam perang tersebut, dan tentunya mereka tidak mau menelan begitu saja. Maka mereka mulai mempersiapkan diri dan menghimpun segala kekuatan untuk menuntut balas kekalahan yang mereka alami sebelumnya
Akhirnya tibalah saatnya perang Uhud di mana kaum kafir Quraisy disertai beberapa kafilah Arab lainnya bersekutu untuk menghancurkan kaum muslimin. Sasaran utama perang tersebut adalah Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthallib. Dan mereka memiliki rencana yang keji terhadap Hamzah yaitu dengan menyuruh seorang budak yang mahir dalam menggunakan tombak dan organ hatinya akan di ambil serta akan di makan oleh Hindun yang memiliki dendam kesumat, karena suaminya terbunuh dalam perang Badar.
Akhirnya kedua pasukan tersebut bertemu dan terjadilah pertempuran yang dahsyat, sementara Hamzah bin Abdul Muthallib berada di tengah-tengah medan pertempuran untuk memimpin sebagian kaum muslimin. Dia mulai menyerang ke kiri dan ke kanan. Setiap ada musuh yang berupaya menghadangnya, pastilah kepalanya akan terpisah dari lehernya.
Seluruh pasukan kaum muslimin maju dan bergerak serentak ke depan, hingga akhirnya dapat diperkirakan kemenangan berada di pihak kaum muslimin. Dan seandainya pasukan pemanah yang berada di atas bukit Uhud tetap patuh pada perintah Rasulullah untuk tetap berada di sana dan tidak meninggalkannya untuk memungut harta rampasan perang yang berada di lembah Uhud, niscaya kaum muslimin akan dapat memenangkan pertempuran tersebut.
Di saat mereka sedang asyik memungut harta benda musuh Islam yang tertinggal, kaum kafir Quraisy melihatnya sebagai peluang dan berbalik menduduki bukit Uhud dan mulai melancarkan serangannya dengan gencar kepada kaum muslimin dari atas bukit tersebut.
Sementara itu, Washyi bin Harb menyelinap dari bala tentara Islam dengan maksud mencari Hamzah bin Abdul Muthallib. Setelah ketemu Washyi kemudian menombak Hamzah tepat di dadanya. Melihat itu, Hamzah lalu mengejar Waishyi namun tidak bisa, karena lukanya yang cukup para lalu dia jatuh dan menjadi syuhada di perang Uhud.
Setelah peperangan usai Rasulullah dan para sahabatnya yang masih hidup memeriksa jasad dan tubuh para kaum muslimin yang gugur, betapa kagetnya mendapatkan jasad Hamzah bin Abdul Muthallib jasad dan dadanya robek serta mengambil hatinya, sehingga Rasulullah meneteskan air mata menandakan luka yang amat sangat dalam. Seraya Rasulullah berkata “Tak pernah aku menderita sebagaimana yang kurasakan saat ini. Dan tidak ada suasana apa pun yang lebih menyakitkan diriku daripada suasana sekarang ini”.
Setelah itu Rasulullah dan para kaum muslimin menshalatkan jenazah pamannya dan para syuhada lainnya satu per satu. Pertama Hamzah bin Abdul Muthallib dishalatkan terlebih dahulu, lalu di bawa lagi jasad seorang syahid untuk dishalatkan, sementara jasad Hamzah bin Abdul Muthallib tetap dibiarkannya di tempatnya. Lalu jenazah itu di angkat, sedangkan jenazah Hamzah bin Abdul Muthallib tetap di tempat. Kemudian di bawa jenazah yang ketiga dan dibaringkannya di samping jenazah Hamzah bin Abdul Muthallib. Maka kalau dihitung Rasulullah dan para sahabat menshalatkan Hamzah bin Abdul Muthallib sebanyak tujuh puluh kali.
Sejarah Hamzah bin Abdul Muthallib merupakan pelajaran kepada umat Islam untuk dijadikan contoh, bagaimana Hamzah bin Abdul Muthallib mencintai Rasulullah SAW, melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Bagaimana Hamzah bin Muthallib berperang melawan musuh-musuh Islam dengan kematian yang tidak wajar dengan dada yang robek lalu hatinya diambil dan dimakan oleh Hindu. Ini suatu pemandangan indah yang telah diabadikan oleh takdir dengan pemotretan yang amat baik dan penjagaan yang bertanggung jawab, untuk menghilangkan kedukaan semua pihak. Terutama kedukaan Rasulullah SAW. atas kematian pamannya Hamzah bin Abdul Muthallib, singa Allah dan singa Rasul-Nya , pahlawan para syuhada.
Abbas bin Abdul Muthallib adalah seorang pejuang Islam dan sekaligus paman Rasulullah dengan nama panggilan Abu Fadhel, nama sebenarnya adalah Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Abbas bin Abdul Muthallib merupakan salah satu pemuka Quraisy yang disegani baik di zaman jahiliyyah maupun setelah masuk Islam. Dia memeluk Islam sebelum hijrah secara diam-diam dan tetap berdiam diri di Makkah guna dapat mengirimkan berita tentang kaum musyrik kepada Rasulullah.
Dia sempat mengikuti perang Hunain bersama Rasulullah dan termasuk orang yang berjasa dalam peperangan tersebut. Dia juga ikut rombongan Anshar dalam Baiatul ‘Aqabah. Dia adalah paman Rasulullah dan salah seorang yang paling akrab di hatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata, “Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barang siapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku”
Di zaman Jahiliah, dia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Dia pernah menjadi pembantu dan penasihat utama Rasulullah dalam Baiatul ‘Aqabah dalam menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, dia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Ibunya, bernama Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah.
Pemasangan kelambu ke Baitullah dikarenakan pada waktu itu, Natilah Binti Khabbab bin Kulaib kehilangan Abbas di waktu kecil. Lalu dia bernadzar, jika sudah ketemu dia akan memasang kelambu sutra ke Baitullah. Akhirnya Abbas kecil ketemu, maka dia melaksanakan nadzarnya memasang kelambu tersebut ke Baitullah.
Istrinya Abbas bin Abdul Muthallib terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal, karena anak pertamanya bernama al-Fadhal. Wajah Fadhal tampan, ia duduk di belakang Rasulullah ketika beliau menunaikan haji wadak. Fadhal meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit. Selain Fadhal anak Abbas bin Abdul Muthallib adalah Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah, Abdullah meninggal di Thaif.
Anak yang lain adalah Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Rasulullah. Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Dan Ma’bad, mati syahid di Afrika. Kemudian Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya, dan murah hati meninggal dunia di Madinah. Serta satu perempuan yang bernama Ummu Habibah.
Para ulama berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katanya, dia memberitakan informasi yang dilakukan oleh kaum musyrikin kepada Rasulullah di Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Makkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabarnya, dia pernah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah melarangnya hijrah ke Madinah, karena tegananya masih dibutuhkan di Makkah.
Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi’, pembantu Rasulullah, “Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku menjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muthallib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya, baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah memeluk Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya.”
Abbas bin Abdul Muthallib merupakan nenek moyang dari khalifah dinasti Abbasiyah. Yaitu sebuah dinasti yang memerintah sebelum khulafa’ur Rasyidin dan Bani Mu’awiyah. Kekuasaan dari Dinasti Abbasiyah berkisar dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Abbas bin Abdul Muthallib juga seorang yang ahli dalam menafsirkan Al-Qur’an dan seorang yang memiliki ide-ide yang cemerlang, suaranya lantang, dan cerdas. Dia juga sangat benci terhadap sistem budak yang di berlakukan di masa itu, pada suatu hari dia membeli budak sebanyak 70 orang, lalu di merdekakan olehnya.
Syekh Khalid M. Khalid berkata, “Inilah dia Abbas bin Abdul Muthallib, orang Quraisy yang paling pemurah dan teramat ramah, dia seorang yang cerdas, bahkan sampai tingkat jenius”.
Peperangan yang paling membekas di benak Abbas bin Abdul Muthallib adalah perang Hunain. Pertama, ketika tentara Islam sudak mulai terdesak mundur oleh tentara kafir, dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa hebatnya Rasulullah sebagai seorang komandan yang dapat membangkitkan semangat pasukan. Dengan suara keras yang dia miliki, menyuruh pasukan Islam mendengarkan aba-aba Rasulullah. Tanpa di sadari oleh dirinya suara itu di dengar oleh pasukan Islam. kemudian mereka maju menyerbu tentara kafir.
Kedua, Rasulullah pada waktu itu merupakan komandan yang cerdik dan bisa membaca situasi kondisi. Lebih dari itu, Abbas bin Abdul Muthallib melihat sendiri kerikil-kerikil yang dilemparkan Rasulullah tepat mengenai sasaran. Kerikil-kerikil itu berubah seakan-akan menjadi sebongkah batu yang menerjang tentara kafir. Dia heran dan kagum pada keberanian beliau yang luar biasa.
Abbas bin Abdul Muthallib berkata: Aku menyaksikan sendiri peperangan Hunain bersama Rasulullah Saw dan Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, sedang bersama Rasulullah mengendarai keledainya yang putih. Ketika kaum muslimin telah berhadapan dengan kaum kafir dan kaum muslimin telah terpukul mundur, tiba-tiba keledai beliau diserbu melompat menuju tempat kaum kafir, sedang aku sebagai pemegang kendali terpaksa menahannya sedikit, sedang Abu Sufyan yang menjaga bawaan bekal beliau.
Maka Rasulullah bersabda “Hai Abbas, kamu panggil sahabat-sahabat yang telah berbaiat di bawah pohon Samurah”
Aku yang bersuara keras pun segera memanggil: “Di manakah orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon Samurah? ”
Orang-orang yang dipanggil oleh Abbas bin Abdul Muthallib mendengar suaranya, kemudian mereka berbondong-bondong sambil meneriakkan lafal Labbaik, Labbaik. Kemudian mereka dengan semangat baru maju ke medan peperangan bersama-sama sahabat-sahabat Ashor.
Demikianlah kisah sahabat Abbas bin Abdul Muthallib yang merupakan paman sekaligus teman pejuang nabi di medan perang. Dalam sejarah Islam di catat bahwa dari keturunan Abbas bin Abdul Muthallib yaitu Dinasti Abbasiyah, perkembangan Islam sangat maju dengan pesatnya. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Tapi yang jelas Abbas bin Abdul Muthallib banyak jasa yang dipersembahkan untuk menegakkan agama Allah di buka bumi ini.
هو ابلد الحيوانات – أن الرجل يسير به ويأتي به الى منزله من البعد في ليلة مظلمة فيعرف المنزل فإذا خلى جاء اليه ، ويفرق بين الصوت الذي يستوقف به والصوت الذي يحث به على السير فمن لم يعرف الطريق الى منزله – وهو الجنـــة – فهو أبلد من الحمار
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Salah satu kelebihan keledai –padahal ia adalah hewan paling pandir- bahwasanya seseorang berjalan membawanya kerumahnya dari tempat yang jauh dalam kegelapan malam, maka keledai itu bisa mengenal rumah tersebut. Apabila dilepaskan (dalam kegelapan) dia bisa pulang kerumah tersebut, serta mampu membedakan antara suara yang memerintahkannya berhenti dan yang memerintahkan berjalan. Maka barangsiapa yang tidak mengenal jalan kerumahnya –yaitu surga– dia lebih pandir dari pada keledai.” (Syifaul ‘Aliil: 1/74)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa setelah dekat wafat Nabi Muhammad SAW, Beliau memerintahkan Bilal untuk menyerukan shalat kepada manusia. Bilal lalu menyerukan Adzan dan berkumpullah para Sahabat Muhajirin dan Anshar ke Masjid Rasulullah SAW. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat ringan bersama para sahabat. Kemudian naik mimbar, memuji dan menyebut keagungan Allah SWT.
Beliau berkhutbah dengan sebuah khutbah yang dalam, hati menjadi takut karenanya, dan air mata bercucuran karenanya.
Kemudian Beliau bersabda: “Wahai sekalian muslimin, sesungguhnya aku adalah seorang Nabi kepada kamu, pemberi nasihat dan berda’wah kepada Allah SWT dengan seijinNya. Dan aku berlaku kepadamu sebagai seorang saudara yang menyayangi dan sekaligus sebagai ayah yang belas kasih. Barang siapa diantara kamu yang mempunyai suatu penganiayaan pada diriku, maka hendaklah dia berdiri dan membalas kepadaku sebelum datang balas membalas di hari kiamat.”
Tidak ada seorangpun yang berdiri menghadapnya, sehingga Beliau bersabda demikian kedua kali dan ketiga kalinya. Barulah berdiri seorang laki-laki bernama Akasyah bin Muhshin.
Berdirilah dia di depan Nabi Muhammad SAW dan berkata: “Demi Ayah dan Ibuku sebagai tebusanmu Ya Rasulullah, seandainya engkau tidak mengumumkan kepada kami berkali-kali, tentu aku tidak akan mengajukan sesuatu mengenai itu. Sungguh aku pernah bersamamu di Perang Badar. Saat itu untaku mendahului untamu. Maka turunlan aku dari unta dan mendekatimu agar aku dapat mencium pahamu. Tetapi engkau lalu mengangkat tongkat yang biasa engkau pergunakan untuk memukul unta agar cepat jalannya dan engkau pukul lambungku. Aku tidak tahu apakah itu atas kesengajaan dirimu atau engkau maksudkan untuk memukul untamu ya Rasulullah?”.
Rasulullah bersabda: “Mohon perlindungan kepada Allah hai Akasyah, kalau Rasulullah sengaja memukulmu.”
Bersabda lagi Beliau kepada Bilal: “Hai Bilal, berangkatlah ke rumah Fathimah dan ambilkan tongkatku.”
Maka keluarlah Bilal dari Masjid sedang tangannya diatas kepalanya: “Ini adalah Rasulullah, sekarang Beliau memberikan dirinya untuk diqishash.”
Dia mengetuk pintu Fathimah, dan bertanyalah Fathimah: “Siapa yang ada di depan pintu?”
Bilal menjawab: “Aku datang untuk mengambil tongkat Rasulullah”
Fathimah bertanya: “Hai Bilal, apa yang akan diperbuat Ayah dengan tongkat itu?”
Bilal menjawab: “Hai Fathimah, Ayahmu memberikan dirinya untuk di qhisash.”
Fathimah bertanya lagi: “Hai Bilal, siapakah yang sampai hatinya mau membalas pada Rasulullah?”
Lalu Bilal mengambil tongkat itu dan masuklah dia ke Masjid serta memberikan tongkat itu kepada Rasulullah, sedang Rasul kemudian menyerahkannya kepada Akasyah.
Ketika Abu Bakar dan Umar ra. memandangnya, maka berdirilah mereka berdua dan berkata: “Hai Akasyah, aku masih berada didepanmu, maka balaslah kami dan janganlah engkau membalas kepada Nabi Muhammad SAW.”
Bersabdalah Rasulullah SAW: “Duduklah engkau berdua, Allah telah mengetahui kedudukanmu.”
Berdiri pula Ali ra. dan berkatalah dia: “Hai Akasyah, aku masih hidup di depan Nabi Muhammad SAW. Tidak akan aku sampai hati kalau engkau membalas Rasulullah SAW. Ini punggungku dan perutku, balaslah aku dengan tanganmu dan deralah aku dengan tanganmu.”
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Hai Ali, Allah telah mengetahui kedudukan dan niatmu.”
Berdiri pula Hasan dan Husain, dan mereka berkata: “Hai Akasyah, bukankan engkau mengenal kami berdua. Kami adalah dua orang cucu Rasulullah. Membalas kepada kami adalah sama seperti membalas kepada Rasulullah.”
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Duduklah engkau berdua wahai penyejuk mataku.”
Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: “Hai Akasyah, pukullah kalau engkau mau memukul.”
Akasyah berkata: “Ya Rasulullah, engkau memukulku dahulu dalam keadaan aku tidak terhalang pakaianku.”
Lalu Rasulullah menyingkapkan pakaiaannya, dan berteriaklah orang-orang Islam yang hadir seraya menangis.
Ketika melihat putihnya jasad Rasulullah, Akasyah menubruknya dan mencium punggungnya.
Berkatalah dia: “Nyawaku sebagai tebusanmu ya Rasulullah, siapakah yang akan sampai hati untuk membalasmu ya Rasulullah. Aku melakukannya hanya mengharapkan agar tubuhku dapat menyentuh jasadmu yang mulia, dan Allah akan memelihara aku berkat kehormatanmu dari neraka.”
Bersabdalah Nabi Muhammad SAW: “Ingat, barang siapa yang ingin melihat penghuni surga maka hendaklah dia melihat orang ini.”
Semua orang Islam yang hadir berdiri, dan mencium antara kedua mata Akasyah seraya berkata: “Beruntung sekali engkau, engkau berhasil mendapatkan derajat yang tinggi dan berkawan dengan Nabi Muhammad SAW di surga.
I was all alone
A sad song I sang is all my tone
I never knew you are there
Listening to my pitiful sound
Your beauty are strange
A warm brown eyes shine
Soft lips as if I knew it before
Sea wave your long hair
Oh dear strange foreign beauty
Don’t you know this is what I’ve been thinking now
Just kiss me awhile there
For I am not your lover
Here myself as your humble secret admirer
Don’t mind your boyfriend there
As he would know how to hold his anger
Your smile never fade
Even in the darkness life can get
While your heart for someone else
You gave him such care more than smile
I sang a song of you
As painful as I get
Hoping of happiness for you
While this melody flowing through
Oh dear strange foreign beauty
Don’t you know this is what I’ve been singing through
Just kiss me awhile there
For I am not your lover
Here myself as your humble secret admirer
Don’t mind your boyfriend there
As he would know how to hold his anger
Just kiss me awhile there
For my end has come near
My love of my life that I fear
Don’t mind my presence here
Just a song from your admirer