Rabu, 16 November 2011

Ali bin Abi Thalib dilahirkan pada tahun (599-661 M), satu-satunya manusia yang dilahirkan di bawah naungan Ka’bah. Dengan nama asli Haidar, nama ini diharapkan oleh keluarganya mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Makkah. Nama Ali ini, merupakan panggilan Rasulullah. Ali yang berarti tinggi.
Ali dilahirkan dari pasangan Abu Thalib dan Fatimah bin Asad, keduanya merupakan keturunan Bani Hasyim dan termasuk sepupu dari Rasulullah. Ketika Abu Thalib mengalami kebangkrutan dalam usahanya, ia mengirim putra-putranya ke tempat saudara-saudaranya. Ali bin Abi Thalib di asuh oleh Rasulullah bersama istrinya Khadijah Al-Kubra. Karena Rasulullah tidak mempunyai anak laki-laki, Nabi sering memperlakukan Ali bin Abi Thalib sangat istimewa.
Ketika Rasulullah menerima wahyu Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau lebih tepatnya orang kedua yang percaya setelah istri Nabi yaitu Khadijah. Pada waktu itu usia Ali masih sekitar 10 tahun.
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah Ali dinikahkan oleh Rasulullah dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Rasulullah menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal salah satunya dari kalangan Bani Hasyim, dan Ali pula yang paling dulu mempercayai kenabian Muhammad setelah Khadijah. Ali bin Abi Thalib selalu belajar di bawah bimbingan Rasulullah langsung dalam banyak hal lain.
Ali bin Abi Thalib merupakan panglima perang yang gagah berani dengan pedangnya yang bernama Dzulfikar menebas musuh-musuhnya di medan pertempuran melawan kafir Quraisy. Ali bin Abi Thalib telah banyak mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah kecuali pada perang Tabuk, dia terkenal dalam ketangguhan menunggang kuda dan keberaniannya, dia merupakan salah seorang yang di jamin masuk surga oleh Rasulullah, pada saat dirinya masih hidup, dialah kesatria umat Islam.
Para sejarah Islam berpendapat bahwa kulit Ali berwarna hitam manis, berjenggot tebal, lelaki kekar, berbadan besar, berwajah tampan, dan di beri nama kunyah oleh Rasulullah dengan sebutan Turab.
Sahabat yang satu ini memiliki citra kepahlawanan yang sangat cemerlang sebagai bukti atas keberaniannya dalam membela agama Islam. Di antaranya, dia menginap di ranjang Rasulullah pada saat peristiwa hijrah, dia mempersembahkan dirinya untuk sebuah kematian demi membela Rasulullah, dialah orang pertama bersama Hamzah dan Ubaidah bin Al-harits yang memenuhi panggilan perang tanding. Dan dia juga termasuk kelompok kecil yang tetap tegar bersama Rasulullah pada perang Uhud.
Pada perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam, Ali bin Abi Thalib menjadi pahlawan di samping Hamzah. Banyak dari kalangan kaum kafir Quraisy tewas di tangan Ali, dalam usia yang masih mudah yaitu sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq merupakan saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Amar bin Abdi Wud mengajak duel kepada tentara Islam sebelum peperangan dimulai. Dia berkata: Di manakah surga yang kalian klaim bahwa jika mati kalian pasti memasukinya? Apakah kalian tidak memberikan aku seorang lelaki untuk berperang melawanku? Maka Ali bin Abi Thalib keluar menghadapinya. Kemudian Amar bin Abdi Wud berkata: Kembalilah wahai anak saudaraku, dan siapakah paman-pamanmu yang lebih tua darimu, sesungguhnya aku tidak suka menumpahkan darah seorang lelaki sepertimu. Maka Ali bin Abi Thalib berkata: “Demi Allah, aku tidak sedikit pun merasa banci menumpahkan darahmu. Maka Amar pun marah dan turun dengan menghunus pedangnya seperti kilatan api, lalu bergegas menantang Ali dengan emosi yang meluap. Maka Ali pun menghadapinya dengan sebuah perisai lalu Amru menyabetkan pedangnya hingga menancap pada perisai dan melukai kepala Ali, kemudian Ali memukulkan pedangnya ke pundak musuhnya sehingga, Amar tersungkur hingga terdengarlah suara gaduh para prajurit Islam, Kemudian setelah Rasulullah mendengar suara takbir, maka beliau mengetahui bahwa Ali telah menewaskan musuhnya. Ketika Ali bin Abi Thalib kembali, Rasulullah mencium Ali dengan berurai air mata.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, di kemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Rasulullah bersabda: “Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Ali merupakan salah seorang yang dididik langsung oleh nabi sejak kecil, sehingga pengetahuan ilmunya sangat luas, baik pemahaman tentang Islam, dalam memerintah, dan bergaul antar sesama. Sehingga Rasulullah bersabda tentang keilmuan Ali bin Abi Thalib, “Ana Madinatul ilmi wa Aliyyun babuha. Faman Aradal madinah fa ya’tihamin babihi- Akulah kota ilmu dan Ali-lah pintunya Barang siapa yang mau memasuki kota, hendaklah ia datang melalui pintunya”. Hadits ini sanadnya bersambung langsung sampai Rasulullah.
Ada satu peristiwa yang menandakan bahwa Ali cerdas dalam ilmunya, datang seorang wanita kepada Umar bin Khathab dan telah melahirkan seorang anak lelaki yang telah berumur enam bulan lalu diperintahkan agar wanita tersebut di rajam.
Maka Ali berkata kepada Umar: Wahai Amirul Mukminin tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala: Ali berkata: Masa kehamilan adalah enam bulan dan menyapihnya dalam masa dua tahun.
Maka Umar pun menggagalkan eksekusi rajam dan dia berkomentar: Sebuah perkara yang seandainya Ali bin Abi Thalib tidak memberikan pendapat padanya maka niscaya aku binasa.
Di antara perkataan Ali bin Abi Thalib adalah, “ambillah lima perkara dariku janganlah seorang hamba mengharap kecuali kepada Tuhannya, tidak khawatir kecuali terhadap dosa-dosanya, janganlah orang yang tidak mengetahui merasa malu bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya, dan janganlah orang yang alim merasa malu mengatakan: “Allah yang lebih mengetahui” jika dia ditanya tentang perkara yang tidak diketahuinya, kedudukan sabar terhadap keimanan sama seperti kedudukan kepala dalam jasad dan tidak ada keimanan tanpa kesabaran.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, dalam pemerintahannya Ali bin Abi Thalib mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena di bunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang bersal dari golongan Khawarij saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tahun 19 Ramadhan, dan Ali pun menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 13 Rmadhan tahun 40 Hijriah. Ali kuburkan secara Rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang mengatakan bahwa Ali dikubur di tempat lain. Akan tetapi yang jelas seorang Ali bin Abi Thalib merupakan kesatria panglima Islam dalam menumpas kafir Quraisy demi tegaknya kalimah “Laaila ha illlah Muhammadar Rasulullah”

Dia adalah dzu nurain (pemilik dua cahaya), orang yang pernah berhijrah dua kali sekaligus suami dari dua putri Rasulullah Saw. Dialah Utsman bin Affan ra. Sejarah kenabian tidak pernah mendapati orang yang menjadi menantu Rasulullah sebanyak dua kali selain Utsman bin Affan.
Utsman bin Affan memiliki posisi terpandang di kalangan kaumnya pada masa jahiliah. Ia adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang berlimpah. Ia juga adalah orang yang rendah hati dan pemalu. Kaumnya amat mencintai dirinya, sehingga ada seorang wanita Quraisy yang sedang memomong anaknya dengan bersenandung:
Aku dan Ar Rahman (Tuhan Yang Penyayang) menyayangimu
Seperti orang Quraisy menyayangi Utsman
Begitu Islam memancarkan cahayanya di Mekkah, Utsman adalah orang yang termasuk para pendahulu yang segera menyerap cahaya tersebut.
Kisah keislaman Utsman bin Affan hingga sekarang masih sering dikisahkan orang.
Hal itu dikarenakan saat pada masa jahiliah ia mendengar bahwa Muhammad bin Abdullah telah menikahkan putrinya yang bernama Ruqayah dengan sepupunya yang bernama Utbah bin Abi Lahab, Utsman merasa menyesal karena ia sudah kedahuluan. Ia merasa kesal karena tidak beruntung mendapatkan istri yang memiliki akhlak yang mulia dan berketurunan baik.
Utsman pun kembali pulang ke rumah dengan perasaan kesal dan sedih. Saat pulang, ia mendapati bibinya sedang berada di rumah yang bernama Su’da binti Kuraizin. Su’da ini adalah perempuan yang tegas, cerdas dan sudah berusia senja. Su’da berhasil menghilangkan kekesalan Utsman dengan memberitahukan kepadanya bahwa akan muncul seorang Nabi yang menghancurkan penyembahan kepada berhala, dan menyeru untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa. Su’da menyuruh Utsman untuk mengikuti ajaran agama Nabi tersebut, dan ia menjanjikan bahwa Utsman akan mendapatkan apa yang pantas bagi dirinya. Utsman berkisah: “Maka aku segera memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh bibiku tadi. Aku pun segera menemui Abu Bakar dan aku ceritakan kepadanya apa yang telah diberitahukan bibi kepadaku.” Abu Bakar berkata: “Demi Allah, bibimu telah berkata benar atas apa yang ia sampaikan kepadamu dan dengan kebaikan yang ia janjikan untukmu, ya Utsman! Engkau pun adalah seorang yang bijak dan tegas yang mampu membedakan kebenaran,dan tidak ada kebathilan yang samar bagi dirimu.” Kemudian Abu Bakar berkata kepadaku:
“Apakah makna dari berhala yang disembah oleh kaum kita ini?! Bukankah berhala ini terbuat dari batu yang tuli. Tidak bisa mendengar dan melihat?” Aku menjawab: “Benar.” Abu Bakar berkata: “Apa yang telah dikatakan oleh bibimu telah terbukti, ya Utsman! Allah Swt telah mengirimkan Rasul-Nya yang dinanti-nanti. Ia mengutusnya untuk semua orang dengan membawa agama petunjuk dan kebenaran.” Aku bertanya: “Siapakah dia?!” Abu Bakar menjawab: “Dialah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.” Aku bertanya keheranan: “Muhammad As Shodiq Al Amin (orang yang terkenal jujur dan terpercaya) itu?” Abu Bakar menjawab: “Benar. Dialah orangnya.” Aku bertanya kepada Abu Bakar: “Apakah engkau mau menemaniku untuk menemuinya?” Abu Bakar menjawab: “Baiklah.” Maka kami pun berangkat untuk menemui Nabi Saw. Begitu Beliau melihatku Beliau langsung bersabda: “Ya Utsman, sambutlah seruan orang yang mengajak ke jalan Allah! Sebab aku adalah utusan Allah kepada kalian secara khusus, dan kepada semua makhluk Allah secara umum.”
Utsman berkata: “Demi Allah, begitu aku melihat Beliau dan mendengarkan sabdanya, maka aku langsung merasa nyaman dan aku percaya akan keRasulannya. Kemudian akupun langsung bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.”
Hingga hari itu tidak ada satupun orang yang berasal dari kaumnya yang mau beriman kepada Rasulullah Saw.
Meswki tidak ada satupun yang menyatakan permusuhan kepada Nabi Saw selain pamannya yang bernama Abu Lahab. Abu Lahab dan istrinya yang bernama Ummu Jamil adalah orang dari suku Quraisy yang paling keras melakukan perlawanan dan makar terhadap diri Nabi Saw. Maka Allah Swt menurunkan sebuah surat tentang diri Abu Lahab dan istrinya:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. Al-Lahab [111] : 1-5)
Kebencian Abu Lahab kepada Rasulullah Saw semakin menjadi. Demikian juga kedengkian istrinya. Tidak hanya ditujukan kepada Muhammad Saw akan tetapi kepada kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Abu Lahab dan Ummu Jamil menyuruh putranya Utbah untuk menceraikan istrinya yang bernama Ruqayyah putri Muhammad Saw. Maka Utbah pun menceraikan Ruqayyah karena alasan dendam kepada ayahnya.
Begitu Utsman mendengar berita telah dicerainya Ruqayyah, maka ia langsung teriak kegirangan. Ia lalu segera meminang Ruqayyah dari Rasulullah Saw. Maka Rasul Saw pun menikahkan Ruqayyah kepadanya. Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid mengadakan walimah untuk perkawinan putrinya ini.
Utsman adalah seorang dari bangsa Quraisy yang memiliki tampang yang paling tampan, sedangkan Ruqayyah juga tidak kalah cantik dan menarik. Maka banyak orang yang berkata kepada Ruqayyah saat dirinya dinikahkan dengan Utsman:
Inilah pasangan terbaik yang pernah dilihat manusia
Ruqayyah, dan suaminya yang bernama Utsman
Utsman -meski dia memiliki kedudukan dan kebaikan yang banyaktidak terlepas dari siksaan kaumnya saat ia memeluk Islam. Pamannya yang bernama Hakam merasa malu bila ada seorang pemuda dari Bani Abdi Syamsin yang keluar dari agama bangsa Qurasiy, dan Hakam amat malu dibuatnya. Maka Hakim bersama para pengikutnya berusaha menghadapi Utsman dengan siksaan dan perlakuan yang kejam. Hakam menangkap Utsman dan mengikatkan tubuh Utsman dengan tali. Hakam bertanya kepada Utsman: “Apakah engkau membenci agama ayah dan kakek moyangmu, dan kini engkau masuk ke dalam agama yang dibuat-buat itu?! Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu hingga engkau meninggalkan agama yang kau anut ini!” Utsman menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini untuk selamanya, dan aku tidak akan berpisah dengan Nabiku selagi aku hidup.
Meski pamannya terus menyiksa dirinya, akan tetapi ia semakin teguh dan tak tergoyahkan dalam berakidah sehingga pamannya merasa putus asa dan akhirnya melepaskan Utsman dan tidak lagi mengganggunya. Akan tetapi bangsa Quraisy masih saja membuat permusuhan kepada Utsman dan menyiksanya, sehingga hal itu membuat Utsman berkeputusan untuk lari dan menyelamatkan agamanya serta meninggalkan Nabinya. Utsman adalah muslim pertama yang berhijrah ke Habasyah bersama istrinya ra. Saat mereka berdua hendak berangkat untuk berhijrah, Rasulullah Saw melepas mereka dan berpesan: “Semoga Allah Swt akan menemani Utsman dan istrinya yang bernama Ruqayah… Semoga Allah Swt akan menemani Utsman dan istrinya yang bernama Ruqayah. Utsman adalah orang pertama yang berhijrah bersama keluarganya setelah Nabi Allah Luth as.”
Utsman bersama istrinya tidak tinggal lama di Habasyah seperti para muhajirin lainnya. Mereka berdua merasakan kerinduan yang amat sangat kepada Nabi Saw dan kepada Mekkah.
Maka keduanya kembali ke Mekkah dan menetap di sana hingga saat Allah Swt mengizinkan kepada Nabi-Nya dan kepada kaum mukminin untuk berhijrah ke Madinah. Maka Utsman dan Ruqayah pun berangkat bersama rombongan muhajirin.
Utsman mendampingi Rasulullah Saw dalam semua pertempuran yang pernah Beliau lakukan. Tidak ada satu perang pun yang terlewatkan selain perang Badr. Dia tidak turut-serta dalam perang ini karena harus merawat istrinya yang bernama Ruqayah sebab sakit. Saat Rasulullah Saw kembali dari Badr, dan Beliau mendapati Ruqayah telah kembali ke pangkuan Allah, maka Rasul Saw menjadi amat sedih. Rasul Saw berbagi kesedihan dengan Utsman atas musibah yang terjadi. Maka Rasul Saw memasukkan Utsman ke dalam golongan ahli Badr, dan mendapatkan jatah ghanimah. Kemudian Rasulullah Saw menikahkan Utsman dengan putri kedua Rasulullah Saw yang bernama Ummu Kultsum. Oleh karenanya, manusia memanggil Utsman dengan sebutan Dzu Nuraini (orang yang memiliki dua cahaya).
Pernikahan Utsman yang kedua kalinya dengan putri Nabi Saw adalah sebuah keutamaan yang tidak didapatkan pria lain selain dirinya. Hal itu dikarenakan, belum pernah terjadi sebelumnya ada orang yang menjadi menantu Nabi sebanyak dua kali selain Utsman bin Affan ra.
Keislaman Utsman ra adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah Swt anugerahkan kepada kaum muslimin dan kepada Islam. Tidak ada kesulitan yang dirasakan oleh kaum muslimin, maka Utsman akan menjadi orang yang akan segera membantu kesulitan mereka. Tidak ada satu musibah pun yang menimpa Islam, kecuali Utsman akan menjadi orang terdepan yang akan mengurangi beban yang diderita Islam. Salah satunya adalah saat Rasulullah Saw hendak melakukan perang Tabuk, pada saat itu Rasulullah Saw amat membutuhkan bantuan finansial sebagaimana Beliau juga membutuhkan orang-orang yang akan menjadi prajurit dalam perang ini.
Sementara pasukan Romawi memiliki prajurit yang banyak, logistik yang memadai dan mereka bertempur di negerinya sendiri. Sedangkan kaum muslimin, mereka akan melalui perjalanan yang panjang dengan bekal yang sedikit dan kendaraan yang tidak memadai. Saat itu, kaum muslimin juga sedang mengalami masa paceklik, yang jarang terjadi hal seperti ini di jazirah Arab.
Dengan terpaksa maka Rasulullah Saw menolak banyak orang yang hendak melakukan jihad dan melarang mereka untuk mencari syahadah (mati di jalan Allah) sebab mereka tidak memiliki kendaraan yang dapat membawa mereka ke sana. Maka orang-orang tadi kembali pulang ke tempat masing-masing dengan mata yang berlinang. Pada saat itulah Rasulullah Saw naik ke atas mimbar. Beliau memuji Allah Swt, kemudian Beliau menganjurkan umat Islam untuk mengerahkan segala kemampuan mereka dan menjanjikan mereka dengan balasan yang besar.
Serta-merta Utsman berdiri dan berkata: “Aku akan memberikan 100 unta lengkap dengan bekalnya, ya Rasulullah!” Kemudian Rasulullah Saw turun satu anak tangga dari mimbarnya dan Beliau terus menganjurkan umat Islam untuk mengerahkan apa yang mereka punya. Maka untuk kedua kalinya Utsman berdiri dan berkata:
“Aku akan memberikan 100 unta lagi lengkap dengan bekalnya, ya Rasulullah!”
Wajah Rasul Saw menjadi cerah, kemudian Beliau turun satu anak tangga lagi dari mimbar dan Beliau masih saja menyerukan umat Islam untuk mengerahkan segala yang mereka miliki. Utsman untuk ketiga kalinya berdiri dan berkata: “Aku akan memberikan 100 unta lagi lengkap dengan bekalnya, ya Rasulullah!”
Pada saat itu Rasulullah Saw mengarahkan tangannya ke arah Utsman pertanda Beliau senang dengan apa yang telah dilakukan Utsman ra. Beliau pun bersabda: “Utsman setelah hari ini tidak akan pernah kesulitan… Utsman setelah hari ini tidak akan pernah kesulitan.” Belum lagi Rasulullah Saw turun dari mimbarnya, namun Utsman sudah berlari pulang ke rumah. Ia segera mengirimkan semua unta yang ia janjikan dan disertai dengan 1000 dinar emas. Begitu uang-uang dinar tadi diserahkan kepangkuan Rasulullah Saw, Beliau lalu membolak-balikkan uang dinar tersebut seraya bersabda:
“Semoga Allah Swt akan mengampunimu, ya Utsman atas sedekah yang kau berikan secara terang-terangan maupun sembunyi. Semoga Allah juga akan mengampuni segala sesuatu yang ada pada dirimu, dan apa yang telah Ia ciptakan hingga terjadinya hari kiamat.” Pada saat kekhalifahan Umar Al Faruq ra, saat itu manusia sedang menderita tahun paceklik yang mengakibatkan banyak sawah ladang serta hewan yang menjadi korbannya. Sehingga tahun tersebut dikenang dengan sebutan tahun Ramadah (debu)171 karena parahnya paceklik yang terjadi. Kesulitan yang dirasakan oleh manusia di Madinah terus semakin mengganas sehingga banyak nyawa manusia yang terancam. Suatu pagi para penduduk datang menghadap khalifah Umar dan berkata: “Wahai khalifah Rasulullah. Langit sudah lama tidak menurunkan hujan, dan bumi sudah tidak menumbuhkan pephonan. Banyak nyawa manusia yang terancam. Apa yang mesti kita lakukan?!”
Dengan tatapan penuh kegelisahan Umar melihat wajah mereka dan berkata: “Bersabarlah dan berharap pahalalah kalian kepada Allah! Aku amat berharap semoga Allah Swt akan memudahkan kesulitan kalian pada petang ini.”
Pada penghujung hari, terdengar kabar bahwa kafilah Utsman bin Affan telah datang dari Syam, dan rombongan tersebut akan tiba di Madinah pada pagi hari.
Begitu shalat Fajar usai dilaksanakan, maka semua orang berbondong-bondong menyambut kedatangan kafilah ini.
Para pedagang yang menyambut kedatangan kafilah ini mendapati bahwa rombongan Utsman terdiri dari 1000 unta yang sarat dipenuhi dengan gandum, minyak dan anggur kering.
Kafilah unta tersebut berhenti di depan pintu rumah Utsman bin Affan ra. Para budak segera menurunkan muatan dari punggung unta.
Para pedagang pun segera menemui Utsman dan berkata kepadanya:
“Juallah kepada kami segala yang kau bawa, ya Abu Amr (panggilan Utsman)!”
Utsman berkata: “Aku akan menjualnya dengan senang hati kepada kalian, akan tetapi berapa harga yang hendak kalian tawarkan kepadaku?” Mereka menjawab: “Setiap dirham yang kau bayarkan akan kami ganti dengan dua dirham.”
Utsman menjawab: “Aku akan mendapatkan lebih dari itu.” Maka para pedagangpun menambahkan lagi harga tawaran mereka. Utsman lalu berkata: “Aku akan mendapatkan lebih dari harga yang telah kalian tambahkan.” Para pedagangpun menambahkan lagi harga tawaran mereka.
Namun Utsman tetap berkata: “Aku akan mendapatkan lebih dari ini.” Para pedagang tadi berkata: “Wahai Abu Amr, tidak ada para pedagang lain di Madinah selainkami. Juga tidak ada seorang pun yang mendahului kami datang ke tempat ini. Lalu siapa yang telah memberikan tawaran kepadamu melebihi harga yang kami tawarkan?!” Ustman menjawab: “Allah Swt akan memberikan 10 kali lipat dari setiap dirham yang aku bayarkan. Apakah kalian dapat membayar lebih dari ini?”
Para pedagang itu menjawab: “Kami tidak sanggup untuk membayarnya, wahai Abu Amr.
Utsman langsung berseru: “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku akan menjadikan semua barang bawaan yang dibawa oleh kafilah ini sebagai sedekah kepada para fuqara kaum muslimin. Aku tidak pernah berharap satu dirham ataupun satu dinar sebagai gantinya. Aku hanya berharap keridhaan dan balasan dari Allah Swt.
Saat kekhalifahan berpindah ke tangan Utsman bin Affan, Allah Swt berkenan menaklukan pada masa Utsman daerah Armenia dan Kaukasus. Allah juga memenangkan kaum muslimin untuk menaklukan daerah Khurasan, Karman, Sigistan, cyprus dan beberapa daerah kecil di benua Afrika.
Kaum muslimin pada masa Utsman mendapatkan kesejahteraan yang belum pernah dirasakan oleh bangsa lain di muka bumi ini.
Hasan Al Bashry ra mengisahkan kesejahteraan penduduk pada masa Utsman bin Affan Dzu Nurain, serta kedamaian dan kenyamanan yang dirasakan oleh umat Islam. Ia berkata:
“Aku pernah melihat ada seorang pegawai Utsman berseru: ‘Wahai manusia, segeralah kalian mengambil jatah!’ Maka semua orang pun segera mengambil jatah mereka secara merata. ‘Wahai manusia, segeralah datang untuk mengambil rizqi kalian!’ Maka semua manusia segera berdatangan dan mereka mendapatkan jatah rizqi yang berlimpah.
Demi Allah kedua telingaku mendengar pegawai tadi berseru:
‘Segeralah kalian mengambil pakaian kalian!’ Semua orang segera mengambil pakaian yang panjang dan lebar. Pegawai tadi juga berseru:
‘Segeralah kalian mengambil minyak dan juga madu!’ Semua itu tidak mengherankan karena harta pada masa Utsman terus menerus berdatangan dan berlimpah.
Hubungan antara sesama muslim menjadi nyaman. Tidak ada di muka bumi seorang mukmin yang merasa khawatir terhadap seorang mukmin yang lain. Yang ada adalah seorang muslim yang menyayangi, mencintai dan membantu muslim lainnya.
Akan tetapi ada sebagian orang yang bila sudah merasa kenyang maka mereka akan kelewat batas. Jika mereka mendapatkan nikmat Allah maka mereka akan menjadi kufur.
Maka sebagian orang tadi malah melemparkan cacian kepada Utsman tentang berbagai permasalahan, yang bila permasalah tersebut dilakukan oleh orang selain Utsman maka mereka tidak akan mencacinya. Mereka tidak hanya mencaci Utsman. Kalau saja mereka berhenti mencaci Utsman, maka keadaan akan bertambah tenang. Akan tetapi setan terus meniupkan api permusuhan dan kejahatan pada diri orang-orang tadi.
Sehingga ada sekelompok orang yang berjumlah banyak dari berbagai suku berbeda berkumpul di sekeliling rumah Utsman selama 40 malam. Mereka menghalangi penduduk rumah Utsman untuk mendapatkan air bersih.
Orang-orang zhalim ini telah lupa bahwa Utsman-lah orang yang pernah membeli sumur rumah dengan hartanya agar pada penduduk dan orang yang melancong ke Madinah Al Munawarah tidak kehausan. Padahal sebelumnya, penduduk Madinah tidak memiliki sumber air jernih yang dapat mereka minum.
Mereka juga menghalangi Utsman untuk melakukan shalat berjamaah di Masjid Rasulullah Saw.
Orang-orang tersebut telah tertutup matanya untuk mengetahui bahwa Utsman-lah yang pernah memperluas Masjid Nabawi dengan hartanya sendiri, agar kaum muslimin merasa lapang dan nyaman berada di dalamnya.
Saat kesulitan ini semakin menghebat menimpa diri Utsman, maka sekitar 700 orang dari kalangan sahabat dan anak-anak mereka segera berusaha melindungi Utsman.
Di antara mereka adalah: Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Zubair Al Awwam, Al Hasan dan Al Husain kedua putra Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan banyak lagi.
Akan tetapi Utsman bin Affan lebih memilih dirinya yang akan menjadi korban daripada banyak nyawa kaum muslimin yang akan menjadi korban hanya demi melindungi dirinya saja. Ia juga memilih untuk meregang nyawa daripada kaum muslimin lain yang akan menjadi korban pembunuhan.
Utsman berpesan kepada orang-orang yang hendak melindunginya agar ia dibiarkan sesuai kehendak Allah Swt saja. Utsman berkata kepada mereka: “Aku berjanji kepada orang yang memiliki tanggung jawab kepadaku agar mereka menahan diri dan tangannya.” Ia juga berkata kepada para budaknya: “Siapa yang mengembalikan pedang ke sarungnya, maka ia akan merdeka!”
Saat Utsman memejamkan matanya sebelum terjadi pembunuhan terhadap dirinya,ia melihat Nabi Saw yang diiringi oleh kedua sahabatnya yang bernama Abu Bakar As Shiddiq dan Umar bin Khattab.
Utsman mendengar Rasulullah Saw bersabda kepadanya: “Segeralah menyusul kami, ya Utsman!” Maka Utsman merasa yakin bahwa ia akan segera berjumpa dengan Tuhannya dan Nabinya.
Pagi itu Utsman bin Affab berpuasa. Ia meminta untuk dibawakan celana panjang dan kemudian ia mengenakannya karena ia merasa khawatir bahwa auratnya dapat tersingkap jika ia dibunuh oleh orang-orang durjana tadi.
Pada hari Jum;at 18 Dzul Hijjah, terbunuhlah seorang hamba yang rajin beribadah dan berzuhud. Orang yang suka berpuasa dan melakukan qiyamul lail. Orang yang berhasil menyatukan mushaf Al Qur’an. Menantu Rasulullah Saw.
Ia berpulang ke pangkuan Tuhan saat ia sedang kehausan karena berpuasa, sementara Kitabullah terbentang di antara kedua tangannya.
Hal yang membuat kaum muslimin semakin sedih adalah di antara para pembunuh Utsman ra tidak terdapat seorang tokoh sahabat maupun anak sahabat yang turut-serta dalam proses pembunuhannya ini kecuali seorang saja dari mereka yang pada akhirnya ia merasa malu dan enggan untuk melakukannya.

Hamzah bin Abdul Muthallib, merupakan paman sekaligus saudara susuan Rasulullah. Hubungan Hamzah bin Abdul Muthallib dengan Rasulullah bukan hanya sekadar antara paman dan keponakan, melainkan juga antara dua orang sahabat. Karena keduanya berasal dari satu generasi dengan umur yang berdekatan. Mereka berdua tumbuh bersama, bermain bersama, saling senda gurau bersama, dan berjalan bersama dari satu jalan ke jalan yang lain,. Namun arah hidup keduanya amat berbeda di masa mudanya.
Hamzah bin Abdul Muthallib adalah anak dari Abdul Muthallib dan ibunya bernama Haulah binti Wuhaib dari Bani Zuhrah. Menurut riwayat, pernikahan Abdul Muthallib dan Abdullah bin Abdul Muthallib terjadi bersamaan waktunya, dan ibu dari Nabi, Aminah binti Wahab, adalah saudara sepupu dari Haulah binti Wuhaib.
Hamzah bin Abdul Muthallib sangat sayang kepada Rasulullah, pada suatu hari ada seorang budak yang mengatakan bahwa keponakannya telah di caci maki dan diperlakukan tidak manusiawi oleh Abu Jahal. Mendengar perkataan itu Hamzah bin Abdul Muthallib langsung tanpa pikir panjang hendak mencari Abu Jahal, setelah melihatnya Hamzah bin Abdul Muthallib mendekati Abu Jahal, lalu diangkat busur panah dari punggungnya dan langsung di pukulkan ke kepala Abu Jahal hingga dia berdarah. Kemudian Hamzah bin Abdul Muthallib dengan suara yang lantang berkata di hadapan Abu Jahal dan pembesar kaum Quraisy “Apakah kamu mencaci maki Muhammad? Padahal aku adalah pengikutnya. Aku katakan apa yang dia katakan. Camkan itu baik-baik! Ulangilah kepadanya jika kamu mampu”. Memang Hamzah bin Abdul Muthallib sangat sayang kepada keponakannya; yaitu Rasulullah.
Sesampainya di rumahnya, Hamzah bin Abdul Muthallib berpikir ulang apa yang dikatakan tadi di dekat Ka’bah. Dia berpikir ini bisa terjadi, bagaimana mungkin seseorang meninggalkan agama nenek moyangnya yang di anut sejak lama. Tiba-tiba di pikirannya tebersit rasa penyesalan tentang apa yang di ucapkan tadi. Akan tetapi, Hamzah bin Abdul Muthallib kembali meneruskan pengembaraan akalnya. Namun, ketika dia menyadari bahwa dengan akal saja dia tidak cukup mencari kebenaran yang hakiki, lalu dia pergi di dekat Ka’bah berdoa meminta kepada Yang Maha gaib dengan keikhlasan dan sangat khusyuk, supaya nantinya mendapatkan kebenaran dan jalan yang lurus.
Hamzah kemudian masuk Islam dengan penuh keyakinan. Allah memperkuat keislaman Hamzah. Islamnya Hamzah merupakan benteng kaum muslimin dan perisai. Sejak Hamzah bin Abdul Muthallib masuk Islam dia berdiri bagaikan benteng dan membela Rasulullah dan para sahabat yang dihina. Dia pun bertekad untuk menyerahkan seluruh kehidupan dan raganya kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka dengan keberanian dan selalu membentengi Rasulullah, Hamzah kemudian di beri gelar oleh Nabi yaitu “asadullah wa asadu rasulihi – Singa Allah dan Singa Rasulallah”. Bahkan Hamzah oleh Baginda Nabi diserahkan bendera Islam pertama untuk di kibarkan dalam pertempuran.
Pada perang Badar, Hamzah melakukan kehebatan yang luar biasa dalam memerangi musuh-musuhnya membuat para sahabat berdecak kagum dan kaum Quraisy kembali ke Makkah dengan membawa kekalahan dan kegagalan yang memalukan. Banyak korban dari kaum kafir Quraisy dalam perang tersebut, dan tentunya mereka tidak mau menelan begitu saja. Maka mereka mulai mempersiapkan diri dan menghimpun segala kekuatan untuk menuntut balas kekalahan yang mereka alami sebelumnya
Akhirnya tibalah saatnya perang Uhud di mana kaum kafir Quraisy disertai beberapa kafilah Arab lainnya bersekutu untuk menghancurkan kaum muslimin. Sasaran utama perang tersebut adalah Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthallib. Dan mereka memiliki rencana yang keji terhadap Hamzah yaitu dengan menyuruh seorang budak yang mahir dalam menggunakan tombak dan organ hatinya akan di ambil serta akan di makan oleh Hindun yang memiliki dendam kesumat, karena suaminya terbunuh dalam perang Badar.
Akhirnya kedua pasukan tersebut bertemu dan terjadilah pertempuran yang dahsyat, sementara Hamzah bin Abdul Muthallib berada di tengah-tengah medan pertempuran untuk memimpin sebagian kaum muslimin. Dia mulai menyerang ke kiri dan ke kanan. Setiap ada musuh yang berupaya menghadangnya, pastilah kepalanya akan terpisah dari lehernya.
Seluruh pasukan kaum muslimin maju dan bergerak serentak ke depan, hingga akhirnya dapat diperkirakan kemenangan berada di pihak kaum muslimin. Dan seandainya pasukan pemanah yang berada di atas bukit Uhud tetap patuh pada perintah Rasulullah untuk tetap berada di sana dan tidak meninggalkannya untuk memungut harta rampasan perang yang berada di lembah Uhud, niscaya kaum muslimin akan dapat memenangkan pertempuran tersebut.
Di saat mereka sedang asyik memungut harta benda musuh Islam yang tertinggal, kaum kafir Quraisy melihatnya sebagai peluang dan berbalik menduduki bukit Uhud dan mulai melancarkan serangannya dengan gencar kepada kaum muslimin dari atas bukit tersebut.
Sementara itu, Washyi bin Harb menyelinap dari bala tentara Islam dengan maksud mencari Hamzah bin Abdul Muthallib. Setelah ketemu Washyi kemudian menombak Hamzah tepat di dadanya. Melihat itu, Hamzah lalu mengejar Waishyi namun tidak bisa, karena lukanya yang cukup para lalu dia jatuh dan menjadi syuhada di perang Uhud.
Setelah peperangan usai Rasulullah dan para sahabatnya yang masih hidup memeriksa jasad dan tubuh para kaum muslimin yang gugur, betapa kagetnya mendapatkan jasad Hamzah bin Abdul Muthallib jasad dan dadanya robek serta mengambil hatinya, sehingga Rasulullah meneteskan air mata menandakan luka yang amat sangat dalam. Seraya Rasulullah berkata “Tak pernah aku menderita sebagaimana yang kurasakan saat ini. Dan tidak ada suasana apa pun yang lebih menyakitkan diriku daripada suasana sekarang ini”.
Setelah itu Rasulullah dan para kaum muslimin menshalatkan jenazah pamannya dan para syuhada lainnya satu per satu. Pertama Hamzah bin Abdul Muthallib dishalatkan terlebih dahulu, lalu di bawa lagi jasad seorang syahid untuk dishalatkan, sementara jasad Hamzah bin Abdul Muthallib tetap dibiarkannya di tempatnya. Lalu jenazah itu di angkat, sedangkan jenazah Hamzah bin Abdul Muthallib tetap di tempat. Kemudian di bawa jenazah yang ketiga dan dibaringkannya di samping jenazah Hamzah bin Abdul Muthallib. Maka kalau dihitung Rasulullah dan para sahabat menshalatkan Hamzah bin Abdul Muthallib sebanyak tujuh puluh kali.
Sejarah Hamzah bin Abdul Muthallib merupakan pelajaran kepada umat Islam untuk dijadikan contoh, bagaimana Hamzah bin Abdul Muthallib mencintai Rasulullah SAW, melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Bagaimana Hamzah bin Muthallib berperang melawan musuh-musuh Islam dengan kematian yang tidak wajar dengan dada yang robek lalu hatinya diambil dan dimakan oleh Hindu. Ini suatu pemandangan indah yang telah diabadikan oleh takdir dengan pemotretan yang amat baik dan penjagaan yang bertanggung jawab, untuk menghilangkan kedukaan semua pihak. Terutama kedukaan Rasulullah SAW. atas kematian pamannya Hamzah bin Abdul Muthallib, singa Allah dan singa Rasul-Nya , pahlawan para syuhada.

Abbas bin Abdul Muthallib adalah seorang pejuang Islam dan sekaligus paman Rasulullah dengan nama panggilan Abu Fadhel, nama sebenarnya adalah Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Abbas bin Abdul Muthallib merupakan salah satu pemuka Quraisy yang disegani baik di zaman jahiliyyah maupun setelah masuk Islam. Dia memeluk Islam sebelum hijrah secara diam-diam dan tetap berdiam diri di Makkah guna dapat mengirimkan berita tentang kaum musyrik kepada Rasulullah.
Dia sempat mengikuti perang Hunain bersama Rasulullah dan termasuk orang yang berjasa dalam peperangan tersebut. Dia juga ikut rombongan Anshar dalam Baiatul ‘Aqabah. Dia adalah paman Rasulullah dan salah seorang yang paling akrab di hatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata, “Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barang siapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku”
Di zaman Jahiliah, dia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Dia pernah menjadi pembantu dan penasihat utama Rasulullah dalam Baiatul ‘Aqabah dalam menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, dia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Ibunya, bernama Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah.
Pemasangan kelambu ke Baitullah dikarenakan pada waktu itu, Natilah Binti Khabbab bin Kulaib kehilangan Abbas di waktu kecil. Lalu dia bernadzar, jika sudah ketemu dia akan memasang kelambu sutra ke Baitullah. Akhirnya Abbas kecil ketemu, maka dia melaksanakan nadzarnya memasang kelambu tersebut ke Baitullah.
Istrinya Abbas bin Abdul Muthallib terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal, karena anak pertamanya bernama al-Fadhal. Wajah Fadhal tampan, ia duduk di belakang Rasulullah ketika beliau menunaikan haji wadak. Fadhal meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit. Selain Fadhal anak Abbas bin Abdul Muthallib adalah Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah, Abdullah meninggal di Thaif.
Anak yang lain adalah Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Rasulullah. Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Dan Ma’bad, mati syahid di Afrika. Kemudian Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya, dan murah hati meninggal dunia di Madinah. Serta satu perempuan yang bernama Ummu Habibah.
Para ulama berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katanya, dia memberitakan informasi yang dilakukan oleh kaum musyrikin kepada Rasulullah di Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Makkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabarnya, dia pernah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah melarangnya hijrah ke Madinah, karena tegananya masih dibutuhkan di Makkah.
Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi’, pembantu Rasulullah, “Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku menjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muthallib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya, baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah memeluk Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya.”
Abbas bin Abdul Muthallib merupakan nenek moyang dari khalifah dinasti Abbasiyah. Yaitu sebuah dinasti yang memerintah sebelum khulafa’ur Rasyidin dan Bani Mu’awiyah. Kekuasaan dari Dinasti Abbasiyah berkisar dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Abbas bin Abdul Muthallib juga seorang yang ahli dalam menafsirkan Al-Qur’an dan seorang yang memiliki ide-ide yang cemerlang, suaranya lantang, dan cerdas. Dia juga sangat benci terhadap sistem budak yang di berlakukan di masa itu, pada suatu hari dia membeli budak sebanyak 70 orang, lalu di merdekakan olehnya.
Syekh Khalid M. Khalid berkata, “Inilah dia Abbas bin Abdul Muthallib, orang Quraisy yang paling pemurah dan teramat ramah, dia seorang yang cerdas, bahkan sampai tingkat jenius”.
Peperangan yang paling membekas di benak Abbas bin Abdul Muthallib adalah perang Hunain. Pertama, ketika tentara Islam sudak mulai terdesak mundur oleh tentara kafir, dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa hebatnya Rasulullah sebagai seorang komandan yang dapat membangkitkan semangat pasukan. Dengan suara keras yang dia miliki, menyuruh pasukan Islam mendengarkan aba-aba Rasulullah. Tanpa di sadari oleh dirinya suara itu di dengar oleh pasukan Islam. kemudian mereka maju menyerbu tentara kafir.
Kedua, Rasulullah pada waktu itu merupakan komandan yang cerdik dan bisa membaca situasi kondisi. Lebih dari itu, Abbas bin Abdul Muthallib melihat sendiri kerikil-kerikil yang dilemparkan Rasulullah tepat mengenai sasaran. Kerikil-kerikil itu berubah seakan-akan menjadi sebongkah batu yang menerjang tentara kafir. Dia heran dan kagum pada keberanian beliau yang luar biasa.
Abbas bin Abdul Muthallib berkata: Aku menyaksikan sendiri peperangan Hunain bersama Rasulullah Saw dan Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, sedang bersama Rasulullah mengendarai keledainya yang putih. Ketika kaum muslimin telah berhadapan dengan kaum kafir dan kaum muslimin telah terpukul mundur, tiba-tiba keledai beliau diserbu melompat menuju tempat kaum kafir, sedang aku sebagai pemegang kendali terpaksa menahannya sedikit, sedang Abu Sufyan yang menjaga bawaan bekal beliau.
Maka Rasulullah bersabda “Hai Abbas, kamu panggil sahabat-sahabat yang telah berbaiat di bawah pohon Samurah”
Aku yang bersuara keras pun segera memanggil: “Di manakah orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon Samurah? ”
Orang-orang yang dipanggil oleh Abbas bin Abdul Muthallib mendengar suaranya, kemudian mereka berbondong-bondong sambil meneriakkan lafal Labbaik, Labbaik. Kemudian mereka dengan semangat baru maju ke medan peperangan bersama-sama sahabat-sahabat Ashor.
Demikianlah kisah sahabat Abbas bin Abdul Muthallib yang merupakan paman sekaligus teman pejuang nabi di medan perang. Dalam sejarah Islam di catat bahwa dari keturunan Abbas bin Abdul Muthallib yaitu Dinasti Abbasiyah, perkembangan Islam sangat maju dengan pesatnya. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Tapi yang jelas Abbas bin Abdul Muthallib banyak jasa yang dipersembahkan untuk menegakkan agama Allah di buka bumi ini.

هو ابلد الحيوانات – أن الرجل يسير به ويأتي به الى منزله من البعد في ليلة مظلمة فيعرف المنزل فإذا خلى جاء اليه ، ويفرق بين الصوت الذي يستوقف به والصوت الذي يحث به على السير فمن لم يعرف الطريق الى منزله – وهو الجنـــة – فهو أبلد من الحمار

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Salah satu kelebihan –padahal ia adalah hewan paling pandir-  bahwasanya seseorang berjalan membawanya kerumahnya dari tempat yang jauh dalam kegelapan malam, maka itu bisa mengenal rumah tersebut. Apabila dilepaskan (dalam kegelapan) dia bisa pulang kerumah tersebut, serta mampu membedakan antara suara yang memerintahkannya berhenti dan yang memerintahkan berjalan. Maka barangsiapa yang tidak mengenal jalan kerumahnya –yaitu surga– dia lebih pandir dari pada keledai.” (Syifaul ‘Aliil: 1/74)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa setelah dekat wafat Nabi Muhammad SAW, Beliau memerintahkan Bilal untuk menyerukan shalat kepada manusia. Bilal lalu menyerukan Adzan dan berkumpullah para Sahabat Muhajirin dan Anshar ke Masjid Rasulullah SAW. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat ringan bersama para sahabat. Kemudian naik mimbar, memuji dan menyebut keagungan Allah SWT.
Beliau berkhutbah dengan sebuah khutbah yang dalam, hati menjadi takut karenanya, dan air mata bercucuran karenanya.
Kemudian Beliau bersabda: “Wahai sekalian muslimin, sesungguhnya aku adalah seorang Nabi kepada kamu, pemberi nasihat dan berda’wah kepada Allah SWT dengan seijinNya. Dan aku berlaku kepadamu sebagai seorang saudara yang menyayangi dan sekaligus sebagai ayah yang belas kasih. Barang siapa diantara kamu yang mempunyai suatu penganiayaan pada diriku, maka hendaklah dia berdiri dan membalas kepadaku sebelum datang balas membalas di hari kiamat.”
Tidak ada seorangpun yang berdiri menghadapnya, sehingga Beliau bersabda demikian kedua kali dan ketiga kalinya. Barulah berdiri seorang laki-laki bernama Akasyah bin Muhshin.
Berdirilah dia di depan Nabi Muhammad SAW dan berkata: “Demi Ayah dan Ibuku sebagai tebusanmu Ya Rasulullah, seandainya engkau tidak mengumumkan kepada kami berkali-kali, tentu aku tidak akan mengajukan sesuatu mengenai itu. Sungguh aku pernah bersamamu di Perang Badar. Saat itu untaku mendahului untamu. Maka turunlan aku dari unta dan mendekatimu agar aku dapat mencium pahamu. Tetapi engkau lalu mengangkat tongkat yang biasa engkau pergunakan untuk memukul unta agar cepat jalannya dan engkau pukul lambungku. Aku tidak tahu apakah itu atas kesengajaan dirimu atau engkau maksudkan untuk memukul untamu ya Rasulullah?”.
Rasulullah bersabda: “Mohon perlindungan kepada Allah hai Akasyah, kalau Rasulullah sengaja memukulmu.”
Bersabda lagi Beliau kepada Bilal: “Hai Bilal, berangkatlah ke rumah Fathimah dan ambilkan tongkatku.”
Maka keluarlah Bilal dari Masjid sedang tangannya diatas kepalanya: “Ini adalah Rasulullah, sekarang Beliau memberikan dirinya untuk diqishash.”
Dia mengetuk pintu Fathimah, dan bertanyalah Fathimah: “Siapa yang ada di depan pintu?”
Bilal menjawab: “Aku datang untuk mengambil tongkat Rasulullah”
Fathimah bertanya: “Hai Bilal, apa yang akan diperbuat Ayah dengan tongkat itu?”
Bilal menjawab: “Hai Fathimah, Ayahmu memberikan dirinya untuk di qhisash.”
Fathimah bertanya lagi: “Hai Bilal, siapakah yang sampai hatinya mau membalas pada Rasulullah?”
Lalu Bilal mengambil tongkat itu dan masuklah dia ke Masjid serta memberikan tongkat itu kepada Rasulullah, sedang Rasul kemudian menyerahkannya kepada Akasyah.
Ketika Abu Bakar dan Umar ra. memandangnya, maka berdirilah mereka berdua dan berkata: “Hai Akasyah, aku masih berada didepanmu, maka balaslah kami dan janganlah engkau membalas kepada Nabi Muhammad SAW.”
Bersabdalah Rasulullah SAW: “Duduklah engkau berdua, Allah telah mengetahui kedudukanmu.”
Berdiri pula Ali ra. dan berkatalah dia: “Hai Akasyah, aku masih hidup di depan Nabi Muhammad SAW. Tidak akan aku sampai hati kalau engkau membalas Rasulullah SAW. Ini punggungku dan perutku, balaslah aku dengan tanganmu dan deralah aku dengan tanganmu.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Hai Ali, Allah telah mengetahui kedudukan dan niatmu.”
Berdiri pula Hasan dan Husain, dan mereka berkata: “Hai Akasyah, bukankan engkau mengenal kami berdua. Kami adalah dua orang cucu Rasulullah. Membalas kepada kami adalah sama seperti membalas kepada Rasulullah.”
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Duduklah engkau berdua wahai penyejuk mataku.”
Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: “Hai Akasyah, pukullah kalau engkau mau memukul.”
Akasyah berkata: “Ya Rasulullah, engkau memukulku dahulu dalam keadaan aku tidak terhalang pakaianku.”
Lalu Rasulullah menyingkapkan pakaiaannya, dan berteriaklah orang-orang Islam yang hadir seraya menangis.
Ketika melihat putihnya jasad Rasulullah, Akasyah menubruknya dan mencium punggungnya.
Berkatalah dia: “Nyawaku sebagai tebusanmu ya Rasulullah, siapakah yang akan sampai hati untuk membalasmu ya Rasulullah. Aku melakukannya hanya mengharapkan agar tubuhku dapat menyentuh jasadmu yang mulia, dan Allah akan memelihara aku berkat kehormatanmu dari neraka.”
Bersabdalah Nabi Muhammad SAW: “Ingat, barang siapa yang ingin melihat penghuni surga maka hendaklah dia melihat orang ini.
Semua orang Islam yang hadir berdiri, dan mencium antara kedua mata Akasyah seraya berkata: “Beruntung sekali engkau, engkau berhasil mendapatkan derajat yang tinggi dan berkawan dengan Nabi Muhammad SAW di surga.

Just An Admirer

Just An AdmirerI was all alone
A sad song I sang is all my tone
I never knew you are there
Listening to my pitiful sound
Your beauty are strange
A warm brown eyes shine
Soft lips as if I knew it before
Sea wave your long hair
Oh dear strange foreign beauty
Don’t you know this is what I’ve been thinking now
Just kiss me awhile there
For I am not your lover
Here myself as your humble secret admirer
Don’t mind your boyfriend there
As he would know how to hold his anger
Your smile never fade
Even in the darkness life can get
While your heart for someone else
You gave him such care more than smile
I sang a song of you
As painful as I get
Hoping of happiness for you
While this melody flowing through
Oh dear strange foreign beauty
Don’t you know this is what I’ve been singing through
Just kiss me awhile there
For I am not your lover
Here myself as your humble secret admirer
Don’t mind your boyfriend there
As he would know how to hold his anger
Just kiss me awhile there
For my end has come near
My love of my life that I fear
Don’t mind my presence here
Just a song from your admirer

Pangkal Segala Keburukan

Keempat perkara yang disebutkan oleh Al-Hasan Al-Bashri ini merupakan pangkal dari segala macam keburukan. Karena, keinginan terhadap sesuatu ialah kecenderungan jiwa kepadanya dengan sebab meyakini kemanfaatannya. Sehingga jika seseorang tengah berkeinginan terhadap sesuatu niscaya akan terbawa untuk berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara yang dia yakini akan bisa menyampaikannya. Terkadang mayoritas cara-cara tersebut adalah cara-cara yang diharamkan, atau bisa jadi sesuatu yang dia ingini itu sendiri merupakan perkara yang haram.
Sedangkan (definisi) takut adalah kekhawatiran terhadap sesuatu. Apabila seseorang merasa takut terhadap sesuatu niscaya akan melakukan sebab-sebab (faktor-faktor) yang dapat menolaknya dengan berbagai cara/jalan yang diyakini akan dapat menolaknya. Adakalanya kebanyakan dari jalan-jalan tersebut adalah perkara-perkara yang diharamkan.
Syahwat ialah kecondongan jiwa kepada hal-hal yang  mencocokinya di mana jiwa itu merasakan kelezatan/kenyamanan dengannya. Mayoritasnya, jiwa itu cenderung kepada keharaman-keharaman seperti zina, mencuri, minum khamr, condong kepada kekafiran, sihir, kemunafikan, dan kebid’ahan-kebid’ahan.
Sedangkan kemarahan ialah mendidihnya darah di qalbu guna mencegah hal-hal yang menyakitinya tatkala mengkhawatirkan bakal terjadinya suatu peristiwa, atau dalam upaya membalas dendam kepada pihak yang telah menyakitinya sesudah terjadinya peristiwa tersebut. Sehingga muncullah dari semua itu tindakan–tindakan yang haram, seperti pembunuhan, pemukulan, berbagai bentuk kezaliman dan permusuhan. Muncul pula darinya berbagai macam ucapan yang diharamkan seperti fitnah, menuduh tanpa bukti, caci-maki, serta ucapan-ucapan keji yang bisa saja naik ke derajat kekafiran sebagaimana yang terjadi pada diri Jabalah bin Al-Aiham. Demikian pula sumpah–sumpah yang tidak diperbolehkan secara syariat dan atau sampai mengucapkan kalimat talak (cerai) kepada yang kemudian berakhir dengan penyesalan.

Saat-Saat Mengharukan Rasulullah

Detik-detik terakhir Rasulullah merupakan masa-masa paling mengharukan bagi umat Islam, kesedihan mendalam karena akan segara kehilangan seorang sosok mulia.
Beliau adalah pemimpin, sahabat, ayah, suami, menantu, mertua, idola, Rasul, dan berbagai bentuk sosok lain bagi umat muslim. Dan saat detik-detik terakhir beliau, semua orang terasa belum mampu untuk kehilangan beliau.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
Engkau tidak senang mendengar khabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai ding! in, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku – peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii?” – “Umatku, umatku, umatku”
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

“Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya meminang,” kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka, nikahkanlah dia.” Rasulullah memaksudkan perkataannya tentang lelaki shalih yang datang meminang putri seseorang.
“Apabila engkau tidak menikahkannya,” lanjut beliau tentang pinangan lelaki shalih itu, “Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” Di sini Rasulullah mengabarkan sebuah ancaman atau konsekuensi jika pinangan lelaki shalih itu ditolak oleh pihak yang dipinang. Ancamannya disebutkan secara umum berupa fitnah di muka bumi dan meluasnya kerusakan.
Bisa jadi perkataan Rasulullah ini menjadi hal yang sangat berat bagi para orangtua dan putri-putri mereka, terlebih lagi jika ancaman jika tidak menurutinya adalah fitnah dan kerusakan yang meluas di muka bumi. Kita bisa mengira-ngira jenis kerusakan apa yang akan muncul jika seseorang yang berniat melamar seseorang karena mempertahankan kesucian dirinya dan dihalang-halangi serta dipersulit urusan pernikahannya. Inilah salah satu jenis kerusakan yang banyak terjadi di dunia modern ini, meskipun banyak di antara mereka tidak meminang siapapun.
“Saya,” katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak perempuan, “Adalah Abud Darda’.”
“Dan ini,” ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, “Adalah saudara saya, Salman Al Farisi.” Yang diperkenalkan tetap membisu. Jantungnya berdebar.
“Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya,” tutur Abud Darda’ dengan fasih dan terang.
“Adalah kehormatan bagi kami,” jawab tuan rumah atas pinangan Salman, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada putri kami.” Yang dipinang pun ternyata berada di sebalik tabir ruang itu. Sang putri shalihah menanti dengan debaran hati yang tak pasti.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili putrinya.
”Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.”
Ah, romansa cinta Salman memang jadi indah di titik ini. Sebuah penolakan pinangan oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya. Salman harus membenturkan dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain, keserasaan. Inilah yang tidak dimiliki antara Salman dan perempuan itu. Rasa itu hanya satu arah saja, bukan sepasang.
Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya,
“Salman Al Farisi dari keluarga kami, ahlul bait.” Lelaki yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus diri seharga 300 tunas pohon kurma dan 40 uqiyah emas. Lelaki yang dengan kecerdasan pikirnya mengusulkan strategi perang parit dalam Perang Ahzab dan berhasil dimenangkan Islam dengan gemilang. Lelaki yang di kemudian hari dengan penuh amanah melaksanakan tugas dinasnya di Mada’in dengan mengendarai seekor keledai, sendirian. Lelaki yang pernah menolak pembangunan rumah dinas baginya, kecuali sekadar saja. Lelaki yang saking sederhana dalam jabatannya pernah dikira kuli panggul di wilayahnya sendiri. Lelaki yang di ujung sekaratnya merasa terlalu kaya, padahal di rumahnya tidak ada seberapa pun perkakas yang berharga. Lelaki shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak pinangannya oleh perempuan yang dicintanya.
Salman ditolak. Alasannya ternyata sederhana saja. Dengarlah.
“Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan,” kata si ibu perempuan itu melanjutkan perkataannya. Anda mengerti? Si perempuan shalihah itu menolak lelaki shalih peminangnya karena ia mencintai lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar, Abud Darda’. Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak.
Ada juga kisah cinta yang lain. Abu Bakar Ash Shiddiq meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia ingin mempererat kekerabatannya dengan Sang Rasul dengan pinangan itu. Saat itu usia Fathimah menjelang delapan belas tahun. Ia menjadi perempuan yang tumbuh sempurna dan menjadi idaman para lelaki yang ingin menikah. Keluhuran budi, kemuliaan akhlaq, kehormatan keturunan, dan keshalihahan jiwa menjadi penarik yang sangat kuat.
“Saya mohon kepadamu,” kata Abu Bakar kepada Rasulullah sebagaimana dikisahkan Anas dalam Fatimah Az Zahra, “Sudilah kiranya engkau menikahkan Fathimah denganku.” Dalam riwayat lain, Abu Bakar melamar melalui putrinya sekaligus Ummul Mukminin Aisyah.
Mendapat pinangan dari lelaki shalih itu, Rasulullah hanya terdiam dan berpaling. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” kata beliau dalam riwayat lain. “Hai Abu Bakar, tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah. Yang terakhir ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. Maksud Rasulullah dengan menunggu keputusan adalah keputusan dari Allah atas kondisi dan keadaan itu, apakah menerima pinangan itu atau tidak.
Ketika Umar bin Khathab mendengar cerita ini dari Abu Bakar langsung, ia mengatakan, “Hai Abu Bakar, beliau menolak pinanganmu.”
Kemudian Umar mengambil kesempatan itu. Ia mendatangi Rasulullah dan menyampaikan pinangannya untuk menikahi Fathimah binti Muhammad. Tujuannya tidak terlalu berbeda dengan Abu Bakar. Bahkan jawaban yang diberikan Rasulullah kepada Umar pun sama dengan jawaban yang diberikan kepada Abu Bakar.
“Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” ujar beliau. “Tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah.
Ketika Abu Bakar mendengar cerita ini dari Umar bin Khathab langsung, ia mengatakan, “Hai Umar, beliau menolak pinanganmu.”
Kita bisa membayangkan itu? Dua orang lelaki paling shalih di masa hidup Rasulullah pun ditolak pinangannya. Abu Bakar adalah sahabat paling utama di antara seluruh sahabat yang ada. Kepercayaannya kepada Islam dan kerasulan begitu murni, tanpa reverse ataupun setitis keraguan. Karena itulah ia mendapat julukan Ash Shiddiq. Ia adalah lelaki yang disebutkan Al Qur’an sebagai pengiring jalan hijrah Rasulullah di dalam gua. Ia adalah dai yang banyak memasukkan para pembesar Mekah dalam pelukan Islam. Ia adalah pembebas budak-budak muslim yang senantiasa tertindas. Ia adalah lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad, dan hanya menyisakan Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh keluarganya. Ia adalah orang yang ingin diangkat sebagai kekasih oleh Rasulullah. Ia adalah salah satu lelaki yang telah dijamin menginjakkan tumitnya di kesejukan taman jannah. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.

Sementara, siapa tidak mengenal lelaki shalih lain bernama Umar bin Khathab. Ia adalah pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Ia dan Hamzah lah yang telah mengangkat kemuliaan kaum muslimin di masa-masa awal perkembangannya di Mekah. Ia lelaki yang seringkali firasatnya mendahului turunnya wahyu dan ayat-ayat ilahi kepada Rasulullah. Ia adalah lelaki yang dengan keberaniannya menantang kaum musyrikin saat ia akan berangkat hijrah, ia melambungkan nama Islam. Ia lelaki yang sangat mencintai keadilan dan menegakkannya tatkala ia menggantikan posisi Rasulullah dan Abu Bakar di kemudian hari. Ia pula yang di kemudian hari membuka kunci-kunci dunia dan membebaskan negeri-negeri untuk menerima cahaya Islam. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.
Mari kita simak kenapa pinangan dua lelaki shalih ini ditolak Rasulullah. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib datang menemui Rasulullah. Shahabat-shahabatnya dari Anshar, keluarga, bahkan dalam sebuah riwayat termasuk pula dua lelaki shalih terdahulu mendorongnya untuk datang meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia menemui Rasulullah dan memberi salam.
“Hai anak Abu Thalib,” sapa Rasulullah pada Ali dengan nama kunyahnya, ”Ada perlu apa?”
Simaklah jawaban lugu yang disampaikan Ali kepada Rasulullah sebagaimana dinukil Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat.
“Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah,” katanya lirih hampir tak terdengar. Dengar dan rasakan kepolosan dan kepasrahan dari setiap diksi yang terucap dari Ali bin Abi Thalib itu. Kepolosan dan kepasrahan seorang pecinta akan cintanya yang demikian lama. Ia menggunakan pilihan kata yang sangat lembut di dalam jiwa, “Terkenang.” Kata ini mewakili keterlamaan rasa dan gelora yang terpendam, bertunas menembus langit-langit realita, transliterasi rasa.
“Ahlan wa sahlan!” kata Rasulullah menyambut perkataan Ali. Senyum mengiringi rangkaian kata itu meluncur dari bibir mulia Rasulullah. Kita tidak usah sebingung Ali memahami jawaban Rasulullah. Jawaban itu bermakna bahwa pinangan Ali diterima oleh Rasulullah seperti yang dipahami rekan-rekan Ali.
Mari kita biarkan Ali dengan kebahagiaan diterima pinangannya oleh Rasulullah. Mari kita melihat dari perspektif yang lebih fokus untuk memahami penolakan pinangan dua lelaki shalih sebelumnya dan penerimaan lelaki shalih yang ini. Kita boleh punya pendapat tersendiri tentang masalah ini.
Ketika Rasulullah menjelaskan alasan kepada Abu Bakar dan Umar berupa penolakan halus, kita tidak bisa menerimanya secara letter lijk. Sebab bisa jadi itu adalah bahasa kias yang digunakan Rasulullah. Misalnya ketika Rasulullah mengatakan bahwa Fathimah masih kecil, tentu saja ini tidak bisa diterjemahkan sebagai kecil secara harfiah, sebab saat itu usia Fathimah sudah hampir delapan belas tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk ukuran masa itu dan bangsa Arab. Sementara Rasulullah sendiri berumah tangga dengan Aisyah pada usia setengah usia Fathimah saat itu. Maka, kita harus memahami kalimat penolakan itu sebagai bahasa kias.
Saat Rasulullah meminta Abu Bakar dan Umar bin Khathab untuk menunggu keputusan, ini juga diterjemahkan sebagai penolakan sebagaimana dipahami dua lelaki shalih itu. Jadi, pernyataan Rasulullah itu bukan pernyataan untuk menggantung pinangan, sebab jika pinangan itu digantung, tentu saja Umar dan Ali tidak boleh meminang Fathimah. Pernyataan itu adalah sebuah penolakan halus.
Atau bisa jadi, saat itu Rasulullah punya harapan lain bahwa Ali bin Abi Thalib akan melamar Fathimah. Beliau tahu sebab sejak kecil Ali telah bersamanya dan banyak bergaul dengan Fathimah. Interaksi yang lama dua muda mudi sangat potensial menumbuhkan tunas cinta dan memekarkan kuncup jiwanya. Ini dibuktikan dari pernyataan Rasulullah untuk meminta dua lelaki shalih itu menunggu keputusan Allah tentang pinangannya. Jadi, dalam hal ini kemungkinan Rasulullah mengetahui bahwa putrinya dan Ali telah saling mencintai. Sehingga Rasulullah pun punya harapan pada keduanya untuk menikah. Rasulullah hanya sedang menunggu pinangan Ali. Di masa mendatang sejarah membuktikan ketika Ali dan Fathimah sudah menikah, ia berkata kepada Ali, suaminya,
“Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.” Saya yakin kita tahu siapa yang dimaksud oleh Fathimah. Ini perspektif saya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan singkat Ali, “Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah.” Satu kalimat itu sudah mewakili apa yang diinginkan Ali. Rasulullah sangat memahami ini. Beliau adalah seseorang yang sangat peka akan apa-apa yang diinginkan orang lain dari dirinya. Beliau memiliki empati terhadap orang lain dengan demikian kuat. Beliau memahami bentuk sempurna keinginan seseorang seperti Ali dengan beberapa kata saja.
Dan jawaban Rasulullah pun menunjukkan hal yang serupa, “Ahlan wa sahlan!” Ungkapan sambutan selamat datang atas sebuah penantian.
Jadi, dengan perspektif ini, kita akan memahami bahwa lelaki shalih yang datang untuk meminang bisa ditolak pinangannya, tanpa akan menimbulkan fitnah di muka bumi ataupun kerusakan yang meluas. Wanita shalihah yang dipinang Salman Al Farisi telah menunjukkan kepada kita, bahwa ia mencintai Abud Darda’ dan menolak pinangan lelaki shalih dari Persia itu. Rasulullah pun telah menunjukkan pada kita bahwa ia menolak pinangan dua lelaki tershalih di masanya karena Fathimah mencintai lelaki shalih yang lain, Ali Bin Abu Thalib. Di sini, kita belajar bahwa cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.
Mari kita dengarkan sebuah kisah yang dikisahkan Ibnu Abbas dan diabadikan oleh Imam Ibnu Majah. Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. “Wahai Rasulullah,” kata lelaki itu,
“Seorang anak yatim perempuan yang dalam tanggunganku telah dipinang dua orang lelaki, ada yang kaya dan ada yang miskin.”
“Kami lebih memilih lelaki kaya,” lanjutnya berkisah, “Tapi dia lebih memilih lelaki yang miskin.” Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah atas sikap yang sebaiknya dilakukannya.
“Kami,” jawab Rasulullah,
“Tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pernikahan bagi dua orang yang saling mencintai, lam nara lil mutahabbaini mitslan nikahi.”
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan jiwa lelaki ini, perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di kegersangan hati. Menumbuhkan tunas yang hampir mati diterpa badai kemarau dan panasnya bara api. Seakan-akan Rasulullah mengatakannya khusus hanya untuk dirinya. Seakan-akan Rasulullah mengingatkannya akan ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian hari.
“Cinta itu,” kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul Ma’rah fi ‘Ashrir Risalah, “Adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika tujuannya adalah menikah.” Artinya yang satu menjadikan yang lainnya sebagai teman hidup dalam bingkai pernikahan.
Dengan maksud yang serupa, Imam Al Hakim mencatat bahwa Rasulullah bersabda tentang dua manusia yang saling mencintai. “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai,” kata Rasulullah, “Seperti halnya pernikahan.” Ya, tidak ada yang lebih indah. Ini adalah perkataan Rasulullah. Dan lelaki ini meyakini bahwa perkataan beliau adalah kebenaran. Karena bagi dua orang yang saling mencintai, memang tidak ada yang lebih indah selain pernikahan. Karena cintalah yang menghapus fitnah di muka bumi dan memperbaiki kerusakan yang meluas, insya Allah.
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan dakwatuna.com

Hidup ini merupakan sebuah perjuangan jika dihadapkan pada sebuah cita-cita yang hendak diwujudkan, sebuah cita-cita yang begitu menghasrat dalam jiwa yang jika tercapai muncul perasaaan bahagia tiada terkira. Harapan dari perjuangan itu sendiri adalah perubahan dari keadaan kehidupan menuju keadaan yang lebih baik dan sempurna.

Di dalam perjuangan untuk mengharapkan adanya perubahan, apapun perubahan itu, memang banyak hal yang harus dilalui, berbagai aral dan rintangan datang menghadang. Terkadang bahkan pada awalnya kita berpikir bahwa jalan yang harus kita tempuh untuk mencapai perubahan yang diinginkan adalah jalan yang tidak wajar, mengingat sepertinya perubahan yang kita harapkan adalah hal yang sulit dan begitu mengangkasa untuk digapai.
Ada sebuah key, sebuah kata kunci, agar kita tidak pernah berhenti untuk berjuang. Apakah itu … kunci itu adalah adalah kita memiliki kekuatan cinta di dalam hati kita, cinta terhadap apa yang kita perjuangkan,tak peduli apa yg menjadi cita-cita itu. Jangan pernah untuk memandang rendah arti kekuatan cinta, karena kekuatan cinta adalah suatu hal yang dapat memberikan perubahan.
Ada satu point yang harus kita ketahui, kekuatan perubahan itu bermula ketika adanya ketukan di dalam hati kita. Ketika hati Kita tergerak, berarti kita sudah ada kesadaran, dan kesadaran itulah yang akan membuat Kita memiliki kekuatan cinta yang akan membuat satu perubahan.
Cinta itu begitu kuat, terkadang menembus batas imajinasi, bahkan lebih kuat dari pada maut. Kekuatan cinta memang luar biasa, namun satu hal juga yang harus diketahui, bahwa perubahan itu terkadang bersifat evolutif, begitu lambat. Hanya saja kekuatan cinta yang murni dan ikhlas memang harus melalui proses pembidikan, bahkan terkadang harus menggunakan senapan sepuluh kali AKA 16 (dahsyat nggak xih,, haha) agar tepat pada sasaran menembus jantung hati hingga luka. Namun dengan pembidikan yang tepat, kekuata cinta akan berkobar.
Cinta juga butuh pengasahan, terkadang harus menggunakan pisau yang diasah sangat tajam yang mampu membuat sisi-sisi hati menjadi luka. Namun, dengan asahan itulah the power of love yang ada akan teruji.
Di dalam sebuah proses jatuh bangun adalah hal yang wajar, dan itulah salah satu ujiannya, sanggupkan. Akan ada kesedihan dan deraian air mata yang tidak sedikit, karena memang ketika kita berada dalam proses tersebut, kita akan merasakan sakit yang teramat dalam, dan bisa jadi terbetik dalam hati bahwa perubahan yang diharapkan ibarat sebuah harapan kosong yang berujung pada menyerah dan berhenti dalam perjuangan.
But, remember … jangan sekali-kali proses itu membuat kita letih lalu menyerah dan terus-menerus mengafirmasikan bahwa perubahan yang diharapkan adalah sebuah harapan kosong dan impian di kala tertidur, yakin saja melalui proses pengasahan dan linangan air mata, kekuatan cinta yang yang ikhlas akan menjadi nyata dan menjadi daya yang tak mampu dihentikan oleh tsunami sekalipun, dan dengan kekuatan cinta yang telah ada, Kita sanggup memberikan perubahan yang pasti terhadap keadaan yang memang membutuhkan perubahan.
Bukankah segala sesuatu akan menjadi indah pada waktunya. Jadi jangan menyerah, jangan menyerah, jangan menyerah. Ujian yang datang hadapi dengan kerelaan, dalam pengertian hadapi itu. Perubahan pasti akan terjadi pada waktu yang tepat. Kekuatan cinta akan membius derita perjuangan.
Percayalah padaku, kali ini saja :D , percaya apa? Percayalah bahwa sesuatu yang mungkin untuk diwujudkan secara rasional, hal itu mungkin diwujudkan secara faktual, sehingga layak untuk diperjuangkan, tak ada sesuatu yang mustahil jika sesuatu itu bisa dipikirkan. Miliki respect terhadap apa yang anda pikirkan, cintai sebuah gambaran yang dinginkan dan perjuangkan.
Cinta pada Allah menumbuhkan Kekuatan yang luar biasa
Ingin kutunjukkan padamu bahwa ada satu cinta yang jika Kita memilikinya akan menjadikan Kita orang yang takkan pernah putus asa, sebuah cinta dengan kekuatan yang luar biasa. Ya, ada satu cinta, cinta yang paling kuat dalam kehidupan dunia ini.
Saat Kita tidak memiliki cinta ini, sungguh betapa celaka diri kita, indikasi Kita sudah menyia-nyiakan hidup Kita. Kenapa?? Karena Inilah sebuah cinta yang paling besar. The great of love, satu cinta yang akan memberikan sebuah kekuatan tak terbatas kecuali maut, sebuah kekuatan yang memotivasi para mujahid di medan perang. Cinta ini mampu membius seseorang dari rasa takut mati, rasa takut apapun itu, juga dari rasa sakit, putus asa, sebuah cinta yang tidak akan pernah membawa apapun selain kemenangan, tidak takut apa pun, demi sebuah cinta. Cinta apakah itu? Cinta ini tidak lain dan tidak bukan adalah cinta kepada Allah.
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (QS Al Baqarah:165)
Banyak sudah kisah yang teriwayatkan betapa kecintaan pada Allah telah menumbuhkan semangat perjuangan yang hampir-hampir menembus batas imajinasi, dia benar-benar nyata. Satu contoh saja pada awal tahun kedelapan hijriah Rasulullah saw. menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Rum di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan.
Rasululalh saw. bersabda, “Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Sekitainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan, apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka. ”
Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordan, mereka mendapati tentara Rum telah siap menyambut kedatangan mereka dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100 ribu milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara. Kita bisa bayangkan 100.000 degan perlengkapan perang lengkap dan pasukan terlatih berbanding 3.000 pasukan dengan bekal iman pada Allah dan Rasulnya.
Apakah mereka lari? Tidak … Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syuhada ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.
Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya yang kemerah-merahan, lalu dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak dapat dimanfaatkan musuh selama-lamanya. Kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tkita pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya. Sementara dia bersenandung menyanyikan sajak nan indah.
Wahai … surga nan nikmat sudah mendekat Minuman segar, tercium harum
Tetapi engkau Rum … Rum… Menghampiri siksa
Di malam gelap gulita, jauh dari keluarga Tugasku … menggempurmu ….
Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegannya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Tetapi,
tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abi Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syuhada’, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu menemui Dzat yang dicintainya dan atas anugerah surga yang telah dijajikanya.
Cinta pada Allah sebagai refleksi iman seorang hamba padaNya
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ. (رواه الترمذي).
“Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR.At Tirmidzi)
Dalam riwayat lain, Rasulullah juga bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ. (رواه أبو داود والترمذي وقال حديث حسن).
“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna Imannya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, ia mengatakan hadits hasan).
Jika ada zat di dunia ini yang harus di cintai, yang harus di kagumi, yang harus dipuja dan dipuji maka dia adalah Allah, zat yang telah menciptakan langit dan bumi beserta apa yang ada di antara keduanya.
Bukankah ketika seseorang mencintai kecantikan atau ketampanan orang lain, bukankah wujud itu Allah jua yang menciptakan, bukankah ketika seseorang mecintai rumah, sawah ladang dengan aneka buah-buahan Allah juga yang telah menciptakanNya. Bukankah segala yang ada dalam kehidupan ini karena diadakan oleh Allah. Oleh karenanya sudah sepantasnya jika kecintaan pada Allah harus menempati posisi paling tinggi jika harus dibandingkan dengan kecintaan terhadap apa-apa yang telah diwujudkan oleh Allah, yang mengundang hasrat cinta dalam diri manusia.
Inilah kecerdasan mencintai (LOVING INTELEGENT) yang sudah seharusnya dimiliki oleh seluruh manusia yang meyakini bahwa segala yang ada berawal dari ketiadaan lalu Allah menjadikannya ada. Oleh karena itulah Allah membuat ancaman:
“Katakanlah jika babak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai; itu lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya, dan daripada berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya” (QS. At taubah, 24).
Menumbuhkan cinta pada Allah
cinta senantiasa berkaitan dengan amal. Dan amal sangat tergantung pada keikhlasan hati, disanalah cinta Allah berlabuh. Itu karena Cinta Allah merupakan refleksi dari disiplin keimanan dan kecintaan yang terpuji, bukan kecintaan yang tercela yang menjerumuskan kepada cinta selain Allah.
Banyak hal yang bisa dilakukan brotha and sistha agar kecintaan seorang hamba pada Allah senantiasa bersemi, cinta itu harus senantiasa dipupuk, karena banyak hal yang dapat menyeret seorang hamba mencintai makhluk melebihi kecintaannya pada Allah. Di bawah ini merupakan hal-hal yang bisa dilakukan untuk pendekatan pada Allah agar cinta tumbuh dan berkembang sekaligus bersemi, hingga membuahkan kekuatan cinta karena Allah.
Membaca al-Qur’an dengan merenung dan memahami kandungan maknanya sesuai dengan maksudnya yang benar. Itu tidaklain adalah renungan seorang hamba Allah yang hafal danmampu menjelaskan al-Qur’an agar dipahami maksudnya sesuai dengan kehendak Allah swt. Al-Qur’an merupakan kemuliaan bagi manusia yang tidak bisa ditandingi dengan kemuliaan apapun. Ibnu Sholah mengatakan “Membaca Al-Qur’an merupakan kemuliaan, dengan kemuliaan itu Allah ingin memuliakan manusia di atas mahluk lainnya. Bahkan malaikat pun tidak pernah diberi kemuliaan semacam itu, malah mereka selalu berusaha mendengarkannya dari manusia”.
Taqarub kepada Allah swt, melalui ibadah-ibadah sunnah setalah melakukan ibadah-ibadah fardlu. Orang yang menunaikan ibadah-ibadah fardlu dengan sempurna mereka itu adalah yang mencintai Allah. Sementara orang yang menunaikannya kemudian menambahnya dengan ibadah-ibadah sunnah, mereka itu adalah orang yang dicintai Allah. Ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah, diantaranya adalah: shalat-shalat sunnah, puasa-puasa sunnah,sedekah sunnah dan amalan-amalan sunnah dalam Haji dan Umrah.
Melanggengkan dzikir kepada Allah dalam segala tingkah laku, melaui lisan, kalbu, amal dan perilaku. Kadsar kecintaan seseorang terhadap Allah tergantung kepada kadar dzikirnya kepadaNya. Dzikir kepada Allah merupakan syiar bagi mereka yang mencintai Allah dan orang yang dicintai Allah. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah aza wajalla berfirman :”Aku bersama hambaKu,s elama ia mengingatKu dan kedua bibirnya bergerak (untuk berdzikir) kepadaKu”.
Cinta kepada Allah melebihi cinta kepada diri sendiri. Memprioritaskan cinta kepada Allah di atas cinta kepada diri sendiri, meskipun dibayang-bayangi oleh hawa nafsu yang selalu mengajak lebih mencintai diri sendiri. Artinya ia rela mencintai Allah meskipun beresiko tidak dicintai oleh mahluk. Inilah derajat para Nabi, diatas itu derajat para Rasul dan diatasnya lagi derajat para rasulul Ulul Azmi, lalu yang paling tinggi adalah derajat Rasulullah Muhammad s.a.w. sebab beliau mampu melawan kehendak dunia seisinya demi cintanya kepada Allah.
Kontinuitas musyahadah (menyaksikan) dan ma’rifat (mengenal) Allah s.w.t. Penglihatan kalbunya terarah kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Kesadaran dan penglihatan kalbunya berkelana di taman ma’rifatullah (pengenalan Allah yang paling tinggi). Barang siapa ma’rifat kepada asma-asma Allah, sifat-sifat dan af’al-af’al Allah dengan penyaksian dan kesadaran yang mendalam, niscaya akan dicintai Allah.
Menghayati kebaikan, kebesaran dan nikmat Allah lahir dan batin akan mengantarkan kepada cinta hakiki kepadaNya. Tidak ada pemberi nikmat dan kebaikan yang hakiki selain Allah. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun kekasih yang hakiki bagi seorang hamba yang mampu melihat dengan mata batinnya, kecuali Allah s.w.t. Sudah menjadi sifat manusia, ia akan mencintai orang baik, lembut dan suka menolongnya dan bahkan tidak mustahil ia akan menjadikannya sebagai kekasih. Siapa yang memberi kita semua nikmat ini? Dengan menghayati kebaikan dan kebesaran Allah secara lahir dan batin, akan mengantarkan kepada rasa cinta yang mendalam kepadaNya.
Ketertundukan hati secara total di hadapan Allah, inilah yang disebut dengan khusyu’. Hati yang khusyu’ tidak hanya dalam melakukan sholat tetapi dalam semua aspek kehidupan ini, akan mengantarkan kepada cinta Allah yang hakiki.
Menyendiri bersama Allah ketika Dia turun. Kapankan itu? Yaitu saat sepertiga terakhir malam. Di saat itulah Allah s.w.t. turun ke dunia dan di saat itulah saat yang paling berharga bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan melaksanakan sholat malam agar mendapatkan cinta Allah.
Bergaul dengan orang-orang yang mencintai Allah, maka iapun akan mendapatkan cinta Allah s.w.t.
Menjauhi sebab-sebab yang menghalangi komunikasi kalbu dan Al-Khaliq, Allah subhanahu wataala.
Saatnya berjuang dengan spirit cinta kepada Allah
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (QS Al Baqarah:165)
Kecintaaan pada Allah menumbuhkan cinta terhadap apa yang dicintainya dan menumbuhkan kebencian terhadap apa yang dibenci oleh Allah. Oleh karena itu meskipun seseorang memiliki saudara yang dia cintai, tetapi saudaranya itu mendurhakati Allah, memusuhi dan menentang Allah, rasa cinta yang secara fitroh ada dalam diri manusia terhadap keluarganyapun akan berubah menjadi kebencian. Inilah kekuatan cinta.
“Kamu tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling kasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang orang itu bapak-bapak, anak-anak sauadara-saudara ataupun saudara keluarga mereka.” (Al-Mujadalah: 22)
demikian juga ketika kita menghasratkan sesuatu yang begitu kita ingin namun hal itu tidak diridloi oleh Allah, maka kekuatan cinta akan mengalihkan perasaan itu, dan kita akan mengurungkan niat untuk mewujudkan apa yagn kita senangi itu. Bukankah boleh jadi kita mencintai sesuatu yang dibenci Allah dan sebaliknya?
Inilah sebuah kenyataan tentang cinta bahwa kita harus memberikan kecintaan dan kesetiaan kita hanya kepada Allah semata. Kita harus mencintai terhadap sesuatu yang dicintai Allah, membenci terhadap segala yang dibenci Allah, ridla kepada apa yang diridlai Allah, tidak ridla kepada yang tidak diridlai Allah, memerintahkan kepada apa yang diperintahkan Allah, mencegah segala yang dicegah Allah, memberi kepada orang yang Allah cintai untuk memberikan dan tidak memberikan kepada orang yang Allah tidak suka jika ia diberi.
Oleh karena itu hedaklah sebuah cita-cita yang hendak kita wujudkan dalam hidup ini tidak berseberangan terhadap apa apa yang telah diturunkan kepada Allah. Bagaimana mungkin kita ingin menjadikan Allah sebagai spirit dalam perjuangan hidup kita kalau yang kita perjuangkan sendiri tidak dicintai oleh Allah, ironiskan?
InsyaAllah jika sudah terbentuk spirit perjuangan yang didasarkan cinta pada Allah, maka tidak ada satu kekuatan yang mampu melumpuhkannya, meskipun terkadang harus terhenti untuk memikirkan strategi yang lebih taktis lagi dalam memperjuangkannya.
satu hal lagi, bahwa perjuangan yang dilandasi oleh cinta pada Allah yang memiliki konsekuensi logis menjadikan Islam sebagai landasan perjuangannya, maka hal itu akan bernilai ibadah, siapa hamba yang tidak mau beribadah kepadaNya?
inilah yang akan mewujudkan kontinuitas dalam berjuang, yaitu semuanya dilakukan karena cinta pada Allah, untuk kemudliaan dan keagungan namaNya, bukankah diri ini hanyalah bagian dariNya, mengapa harus egois dengan melupakan namaNya saat meraih dan berjuang menggapai angan dan cita-cita?
terakhir, sebuah petikan “jadikanlah hidup ini menjadi lebih bermakna, dengan menjadikan cinta, untuk Allah semata” artinya: cinta kepada selain Allah hanyalah derivasi dari cinta kepada Allah. So, let’s strugle, work and pray.
Selalu ingatlah: tak ada perjuangan yang sia-sia, tak ada usaha yang tak berguna, dan tak ada doa yang tak terijabahi. berjuang, bekerja dan berdoa dalam menggapai asa, cinta dan cita-cita akan memiliki arti jika semua itu dilandasi dengan spirit cinta kepada Allah untuk menjadi manusia yang lebih berarti dan berguna untuk diri sendiri dan orang lain. bukankah Allah menginginkan hambaNya menjadi hamba yang terbaik?
wallahua’lam.

;;

By :
Free Blog Templates